Lihat ke Halaman Asli

Yuk, Mengenal Tradisi Pernikahan Cina

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbeda budaya, adat-istiadat, bukan berarti kita tidak mau tau/ tidak mau kenal dengan budaya yang berbeda tersebut bukan??...Buat saya, budaya yang berbeda atau adat-istiadat yang berbeda justru akan menambah wawasan serta pengetahuan. Tak terlebih dengan adat tradisi pernikahan etnis Cina. Meskipun bukan berasal dari budaya/ tradisi nusantara (Indonesia), namun tidak ada salahanya untuk mengenalnya, guna menambah wawasan kita. Bagi kawan sekalian yang belum tahu seperti apa itu tradisi pernikahan Cina, yuk sama-sama menengoknya, kira-kira seperti apa sih tradisi pernikahan orang cina.....

Sudah lama saya menginginkan ini, melihat langsung bagaimana tradisi pernikahan orang-orang cina. Dulu sewaktu tinggal di Jakarta, beberapa kali datang keacara pernikahan etnis Cina, namun apa yang saya harapkan, barang melihat baju kebesaran dalam pernikahan cina, yang biasa disebut “Qi pao/ Gua/ Kwa/ Chengsam- dengan phoenix crown”, pun tak pernah dikenakan mempelainya. Sampai pernah suatu ketika saya bilang pada suami, “bilangin sama si A nanti kalau nikahan pake baju merah-merah ya (maksudnya baju “Qi pao/ Gua/ Kwa/ Chengsam- dengan phoenix crown”)...”. Dengan alasan ribet bila menggunakan tradisi Cina untuk acara pernikahan, maka pernikahan ala barat (baik dari segi baju pengantin, juga segala tata cara) yang lebih praktis menurut mereka, selalu menjadi pilihan primadona dalam acara pernikahan. Oh...kecewanya saya...

Tiba saatnya, kakak saya (sepupu) menikah. Sejak jauh-jauh hari sebelum acara pernikahan berlangsung, kami sudah dikabari kalau pernikahan tersebut akan dilaksanakan di Melaka, Malaysia. Meskipun belum pasti tanggalnya, tapi kami tahu bila pernikahan tersebut akan dilaksanakan secara tradisi Cina. Bahagianya kami...kesatu bahagia karena kakak menikah, kedua itu artinya keinginan saya akan segera terkabul, melihat langsung tradisi pernikahan Cina. Maka inilah rentetan tradisi pernikahan Cina tersebut. Dan mohon maaf, kami, saya terutamanya, sangat menjaga privasi keluarga, maka gambar (foto) prosesi nan sakral tersebut tidak bisa saya tampilkan sekalipun kakak kami mengijinkan.

Boleh dikatakan bahwa pernikahan kakak kami tersebut sangat sederhana, sesuai dengan keinginan kedua mempelai yang memang menginginkan pernikahan sesederhana mungkin. Kedua mempelai tidak mengenakan baju kebesaran (“Qi pao/ Gua/ Kwa/ Chengsam- dengan phoenix crown”), tidak ada hingar-bingar suara petasan, warna-warni hiasan pernikahan tidak ada, pun kerabat dekat saja yang hadir. Sang pengantin pria mengenakan  kemeja, sementara pengantin wanita mengenakan baju chengsam potongan modern. Kalau ada orang yang bilang, tidak memakai baju kebesaran (baju “Qi pao/ Gua/ Kwa/ Chengsam- dengan phoenix crown”) berarti orang Cina tersebut sudah lupa tradisi, menurut saya ini pandangan yang kurang tepat. Misalnya dalam pernikahan kakak kami tersebut bukan melihat pada pakaian adat pengantin yang semestinya dikenakan, namun lebih menekankan pada tradisi (tradisi-tradisi inti) yang wajib/ harus dilaksanakan. Yang penting adalah menjaga tradisi-tradisi yang sudah ada secara turun temurun dalam pernikahan (tradisi Cina). Saya yakin, satu tempat dengan tempat lainnya ada perbedaan (entah banyak atau sedikit) tentang tradisi pernikahan etnis Cina. Hal ini wajar, karena tergantung dari segi pengalaman, segi pengetahuan, berbeda-beda setiap orang. Bisa juga perbedaan tradisi pernikahan (pernikahan Cina) dipengaruhi oleh budaya setempat, juga bisa dipengaruhi oleh agama yang dianut.

Pernikahan itu dilaksanakan pada hari minggu terakhir bulan januari lalu (26 januari 2014), pada jam 10 pagi waktu setempat. Hari minggu itu dipilih bukan tanpa alasan. Dalan tradisi pernikahan Cina, hitung-menghitung hari pernikahan, yang meliputi jam dan tanggal berapa pernikahan akan dilaksanakan, merupakan suatu kewajiban. Menurut perhitungan para orangtua (maaf saya tidak tahu bagaimana cara menghitungnya), hari yang telah dipilih (minggu 26 januari 2014) adalah hari baik untuk kakak kami melangsungkan pernikahan, jam 10 pagi adalah jam-jam yang dianggap baik (sebelum matahari tegak lurus). Dan bila kakak kami tidak menikah dengan pasangannya dihari yang telah dipilih itu, maka mereka baru boleh menikah tiga tahun kedepan. Itu artinya, harus menunggu tiga tahun lagi untuk melangsungkan pernikahan. Waduh..harus menunggu tiga tahun lagi....?? padahal sudah capek pacaran....sudah lebih dari lima tahun pacaran lho...! Apa pentingnya sih sampai harus tunduk dan patuh pada perhitungan hari baik tersebut?? Pemilihan hari baik (tanggal dan jam) adalah sebuah doa. Yang diharapkan, kedua mempelai bahagia hingga akhir hayatnya. Amiinn...

Sebenarnya ada acara penjeputan mempelai wanita oleh mempelai pria, dimana sehari sebelum acara pernikahan kedua mempelai dilarang bertemu. Saat itu (sehari sebelum pernikahan) ada tradisi “menyisir” dipihak pengantin perempuan, yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur, dimana keesokkan harinya acara pernikahan dilaksanakan. Pengantin perempuan harus mencari pasangan suami-istri yang kehidupan rumahtangganya langgeng/ harmonis/ saling mencintai untuk menyisir rambutnya (si istri yang menyisir). Pasangan suami-istri ini bisa dipilih dari saudara, tetangga, teman, atau ibu dari pengantin wanitanya sendiri. Maksud dari pemilihan pasangan suami-istri yang kehidupan rumahtangganya harmonis adalah tidak lebih agar sang pengantin kehidupan rumahtangganya langgeng/ harmonis juga. Ada tiga doa yang diucapkan saat penyisiran rambut. Sisiran pertama, agar perjalanan rumahtangga sang pengantin sampai akhir hayat. Sisiran kedua, supaya rumahtannga langgeng sampai tua. Dan sisiran ketiga, panjang umur bisa menyisir anak cucu kelak.

Karena pernikahan kakak kami adalah pernikahan sederhana, tidak dibuat dalam bentuk acara besar, maka tradisi diatas  ditiadakan. Acara pernikahan langsung pada acara yang inti-inti, seperti upacara sembahyangan. Ketika tiba didepan pintu rumah mempelai pria, pengantin telah disambut oleh kerabat yang hadir. Menyalakan lilin dialtar, mengambil hio kemudian membakarnya, sebuah tanda bahwa acara sembahyangan telah dimulai oleh kedua mempelai, dengan bersujud didepan altar sembahyangan. Maksudnya hal ini adalah penghormatan pada Tuhan, penghormatan pada leluhur, penghormatan pada kakek-nenek yang telah meninggal, dan penghormatan untuk ayah ipar kami yang telah meninggal. Dalam acara sembahyangan ini juga dimaksudkan untuk memberitahukan pada leluhur juga orang-orang yang telah meninggal tersebut, bila kakak kami (mempelai wanita) adalah istri dari keturunan mereka (mempelai pria).

Acara dilanjutkan dengan minum teh. Namun sebenarnya minuman yang digunakan sebagai bentuk penghormatan itu bukanlah teh seperti kebanyakan orang mengira, tapi air manis, ya yang terpenting air manis. Mengapa harus minuman manis?? Itu dimaksudkan agar hubungan rumahtangga sang pengantin tersebut harmonis, tidak ada namanya pertengkaran-pertengkaran dalam menjalani kehidupan rumahtangga. Lantas siapa sajakah yang diberi air minum tersebut oleh pengantin?? Dimulai/ diurutkan dari yang lebih tua (dituakan oleh pengantin). Dalam pernikahan kakak kami itu, ada nenek, orangtua (ibu), paman, bibi, serta kakak dari sang pengantin. Mereka ini dipersilahkan duduk didua kursi  yang telah ditata. Itu artinya mereka bergantian untuk duduk dikursi tersebut, dua-dua. Pengantin memberikan air manis pada mereka dengan posisi  sedikit membungkuk/ hormat. Nah, dalam prosesi pengantin memberikan air minum manis tersebut, ada artinya lagi. Artinya, sebagai bentuk tanda hormat, dan tanda terimakasih pada mereka (yang lebih tua tersebut) karena telah menjaga dan membesarkan pengantin hingga kini. Dan saat memberi air minum itu, mereka (yang lebih tua) juga mendoakan sang pengantin. Setelah selesai memberi air minum pada mereka yang lebih tua, maka pengantin mendapatkan angpao dari mereka. Seperti yang sudah penah saya tuliskan (http://sosbud.kompasiana.com/2014/02/06/tetangga-kok-beri-angpao-629910.html). Bahwa tradisi angpao adalah yang tua memberikan angpao pada yang lebih muda, dengan catatan bila belum menikah tidak boleh memberi angpao. Sekarang gantian, giliran sang pengantin duduk dikursi, mendapat air minum manis yang diberikan oleh adik-adik/ yang dianggap lebih muda. Angpao-nya?? Tidak ketinggalan....giliran pengantin, baik mempelai pria maupun mempelai wanita masing-masing memberikan angpao pada adik-adik/ yang dianggap lebih muda.

Selanjutnya prosesi acara pernikahan fokus dikamar pengantin. Yang pertama adalah acara suap-suapan pengantin. Kali ini pengantin berada didalam kamar pengantin, dan saling suap secara bergantian. Makanan yang digunakan dalam prosesi acara suap-suapan ini adalah makanan manis, HARUS manis. Lagi lagi...yang manis-manis....minuman manis, makanan manis...(kalau pengantinnya sedang diet gimana ya)...?! Ya, makanan itu bisa berupa jeli atau makanan desert lainnya. Maksudnya adalah saling berbagi, dan agar rumahtangganya manis selalu. Yang kedua, kasur pengantin harus dikencingi. Eits...yang kencing dikasur pengantin bukan sembarang orang lho...Dipilih salah satu anak laki-laki (bisa dari anaknya siapa saja), karena kakak dari saudara ipar kami punya anak laki-laki, maka anaknya yang dipilih untuk naik keatas ranjang pengantin. Tradisinya, anak laki-laki itu harus kencing diatas kasur pengantin. Tentu saja sebelumnya diletakkan wadah (baskom dan sejenisnya), untuk menampung air kencingnya. Setelah kencing, anak itu harus loncat-loncat diatas ranjang pengantin tersebut. Hal ini tentu ada arti dan maksudnya. Maksudnya, diharapkan sang pengantin mempunyai anak laki-laki. Jelas ya, karena anak laki-lakilah yang bisa meneruskan marga sang ayah kelak.

Setelah jam hampir menunjukkan pukul satu siang, satu-persatu tradisi pernikahan telah  usai dilaksanakan, yang terakhir dimana anak laki-laki harus loncat-loncat diatas kasur pengantin. Selanjutnya sebagai penutup, kamipun makan bersama dengan sang pengantin. Dan acara pernikahan dilanjutkan dimalam hari, yaitu makan malam dengan mengundang kerabat-kerabat, teman-teman, serta orang-orang yang dikenal oleh sang pengantin untuk makan malam bersama dalam meja bundar, atau lebih tepatnya syukuran.

Begitu kompleks bukan acara tradisi pernikahan Cina, dengan begitu sarat makna. Tidak salah memang bila dulu kenalan kami dijakarta bilang bahwa pernikahan dengan menjalankan tradisi itu ribet. Namun begitu, “ribet”-nya menjalankan tradisi kok tidak terasa ya dalam suasana pernikahan kakak kami kemarin. Mungkin yang dibilang “ribet” itu adalah pernak-pernik, serta segala macam persiapannnya  bila acara dilaksanakan secara besar. Kalau yang dimaksud itu, ya prosesi pernikahan dari suku/ etnis mana saja juga sama “ribet”-nya. Tapi...prosesi acara pernikahan bisa dilaksanakan secara sederhana, tanpa menghilangkan tradisi yang sudah ada secara turun-temurun, terutama tradisi yang inti-inti.

Itulah sekelumit pengalaman kami mengikuti prosesi pernikahan Cina. Kalau kita melihat banyak orang etnis Cina tersebar dibanyak negara. Namun begitu, meski berada ditempat yang berbeda mereka masih memegang teguh tradisi, walau tak sedikit yang sudah melupakan tradisi. Tidak ada salahnya bukan, kita mengenal budaya orang lain. Tidak hanya untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita, namun kita bisa mencontoh suatu sikap yaitu keteguhan dalam mempertahankan budaya, adat tradisi, dimanapun kita berada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline