Lihat ke Halaman Asli

Maulidan di Lubang Biawak

Diperbarui: 19 Desember 2015   05:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Dalam sebuah ceramahnya, Syekh Imran Husain pernah membuat pernyataan menarik. Bahwa hari ini umat Islam tengah bersukacita menyambut kelahiran Nabi besar Muhammad dengan seremoni yang beragam seberagam budaya umat Islam di seluruh dunia. Tentu, yang paling khas dari perayaan maulid Nabi adalah pembacaan sejarah kehidupan beliau dipadu dengan lantunan syari-syair madah yang dibaca bersama-sama. “Tapi”, kata Imran Husain, “layakkah kalian melantunkan syair-syair pujian kepada Baginda Nabi sedang kalian tengah terjebak di dalam lubang biawak”?

Syaikh Imran Husain bukan tipe orang yang anti terhadap perayaan maulid seperti halnya kelompok Wahhabi. Beliau tetap berpandangan bahwa perayaan maulid itu kebaikan yang sangat utama, baik diisi dengan pembacaan sirah Nabi maupun alunan syair-syair pujian kepada Baginda. Tapi – dengan tetap memandang perayaan maulid secara positif – sesungguhnya, hari ini ada genting untuk segera dilakukan oleh kebanyakan umat Islam, yaitu mengeluarkan diri mereka masing-masing dari lubang biawak.

Tentu, yang dimaksud “lubang biawak” di sini adalah merujuk pada hadis yang artinya, “Kalian benar-benar akan mengikuti jejak langkah orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga andaikan mereka masuk ke lubang biawak, maka kalian tetap akan mengikuti mereka juga” Kami (para sahabat) bertanya: “Ya Rasulallah, adakah yang dimaksud dengan mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”

Dengan memperhatikan keadaan diri dan sekeliling; diri kita, masyarakat di lingkungan kita dan masyarakat dunia Islam secara keseluruhan, telah tampak jelas jika kebanyakan dari kita memang tengah terjebak di dalam lubang biawak, dalam arti telah benar-benar jauh dari sunah-sunah Nabi tapi malah dekat atau bahkan menyatu dengan ‘sunah-sunah’ orang-orang non-muslim, terutama Yahudi dan Kristen, dalam berbagai sisi kehidupan yang kita jalani.
Barangkali itulah sebabnya mengapa di akhir zaman seperti sekarang ini, sunah Nabi bagai barang antik dan tampak aneh, sebagaimana disinyalir beberapa hadis, sehingga sesiapa yang menghidupkan satu sunah Nabi pada zaman terjadi kerusakan di tengah-tengah umat, maka baginya pahala yang setara seratus kesyahidan. Dan itulah sebabnya sebagian ulama mengatakan, siapa yang tidak tampak asing, maka hampir bisa dipastikan jika ia sedang tak sesuai dengan sunah Nabi.

Maka maulid Nabi seperti saat ini adalah momentum yang sangat tepat tidak hanya untuk bergembira dalam merayakan kelahiran Baginda semata, tapi juga untuk berkomitmen mengentas diri kita masing-masing dari dalam lubang-lubang biawak, yang boleh jadi dengan tanpa sadar telah kita huni bertahun-tahun lamanya. Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menyelamatkan keluarga dan orang-orang dekat masing-masing, sehingga pada gilirannya “keluar dari lubang biawak” (kembali pada sunah) menjadi gerakan massif.

Lebih dari itu, gerakan kembali pada sunah sesungguhnya memerlukan keteladanan, sebab sunah bukan sekadar teori, tapi suluk yang mesti terlebur dalam kehidupan dan tradisi umat. Karenanya, ia akan jauh lebih mudah dijalankan umat jika mereka melihat gambaran konkretnya dalam kepribadian para panutan mereka. “Jangan sampai”, kata al-Habib Ali al-Jufri suatu ketika memberikan sebuah permisalan, “seorang guru mengajarkan hadis ‘lâ dharâra walâ dhirâr’, tapi selepas pelajaran usai ia malah merokok dengan enjoy di luar ruangan kelas.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline