Lihat ke Halaman Asli

Aku dan Lelaki Tua itu Ternyata...

Diperbarui: 21 April 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto (Istimewa)

Sore hari itu cerah, di bawah pohon rindang, aku pandangi gedung mewah nan megah bercat putih yang nampak angkuh memandang tubuhku. Aku seperti anak kerdil yang tak pantas untuk menginjakkan kaki di tempat mewah semacam ini. Hanya di pelataran jauh depan gedung aku berani mengadu, ya di tempat ini, tempat yang menjanjikan kenyamanan bagi siapa saja yang ingin sekedar melepas lelah dari rutinitas kampus ataupun kehidupan yang mulai terasa membosankan.

Semilir angin mengelus rambutku yang kusut, sedikit menenangkan laju pikirku yang kalut. Di gedung megah itu, nampak sedang diadakan  hajatan berskala besar. Hari ini terlihat banyak orang sibuk berlalu lalang, Mobil-mobil mewah yang mengkilap berjejeran di parkiran. Nampak pula banyak berjejeran kursi dan meja tamu-tamu VIP. Para tamu mengenakan jas-jas mahal dan kebaya-kebaya mewah merk butik terkenal.

Sebelum aku duduk nyaman, tadi aku sempat bertanya kepada seorang tamu undangan yang keluar gedung sambil membawa semangkuk zupazup.

“Pernikahan siapakah ini ya Pak? Para undangan yang hadir nampak sekali dari kaum borjuis?” “Pernikahan anaknya pejabat dengan anak eksportir mebel,” jawab lelaki paruh baya itu sambil memasukkan sendok kecil kuah zupazup ke mulutnya. Persis seperti tebakanku, pernikahan akbar sedang dihajatkan, jelas ini bukan acaranya rakyat,tetapi hajatan seorang pejabat yang menikahkan putrinya dengan seorang lelaki calon pewaris tahta pengusaha mebel kelas kakap.

Dapat kulihat juga beberapa orang berseragam putih berlari lari kecil  menyiapkan konsumsi. Ada kambing guling, nasi rawon, bakso daging sapi,nasi goreng, daging rendang dan lain-lain,kelihatannya sangat merongrong perutku yang belum kuberi makan sejak pagi.

“Ah peduli apa mereka dengan diriku yang lapar ini”, gumamku,

Sedetik kemudian persis di depanku, melintas angkuh mobil sport mewah, berwarna hitam mengkilap dengan beberapa iringan polisi berjejer mengawal, lalu turun seorang lelaki berjas hitam, dengan rambut tersisir rapi, celana hitam menjadi padanan yang pas.

Aku asyik menikmati pemandangan ini, dengan sesekali menghayal, suatu hari nanti aku yang turun dari mobil sport itu dengan kawalan polisi, disambut teriakan-teriakan para loyalis, sedang didepanku terhampar lautan manusia yang antusias menunggu orasi politikku, ah rasanya senang sekali, seakan dunia dalam genggamanku.Aku mulai tersenyum sendiri.

Setiap hari tak perlu lagi risaukan nasi seperti hari-hariku selama ini, karena setiap pagi ada pelayan yang mengantarkan makanan, juga ajudan yang setiap hari bahkan setiap waktu mengawal. Sempurna sekali rasanya hidup seperti itu.

Di tengah khayalan yang tak kunjung menemui titik bosan, seorang lelaki tua menghampiriku dan meminta tempat duduk di sampingku. Lelaki tua itu tersenyum, dengan beberapa guratan memenuhi kening dan pipinya, ia memandangiku dengan sorot matanya menghujam , seperti menusuk mataku dengan pedang yang bermata tajam. Matanya menyala tanda keberanian, berbaju lusuh compang-camping di beberapa bagian pertanda kesahajaan pemakainya.Lelaki tua itu duduk tenang di sampingku, meletakan tongkat kayu dengan pandangan lurus kedepan, lalu melepas topi jeraminya.

“Apa yang kamu khayalkan anak muda”? lelaki tua itu bertanya  seakan tahu semua apa yang ada dalam pikiranku sejak tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline