Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Mina : Antara Afdol, Kelakuan Jamaah dan Provokator

Diperbarui: 8 Oktober 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin karena pernah berhaji dan menjadi petugas ,dua tahun sebelumnya, saya ditunjuk menjadi Ketua Regu pada jamaah haji Kebumen Jawa Tengah Kloter 56-Sub tahun 2008 oleh para jamaah. Ternyata lebih mudah menjadi petugas kesehatan kloter yang mengurus kesehatan, keselamatan jamaah dan membantu petugas kloter lain dalam mengurus satu kloter sejumlah kira-kira 450 jamaah daripada mengurus satu regu yang hanya terdiri dari sepuluhan orang termasuk diantaranya istri dan keluarga saya.

       Komposisi jamaah di Jawa yang berbeda dengan komposisi jamaah Bali membuat bertanggung jawab terhadap sepuluh jamaah jauh lebih berat dari mengurus kesehatan jamaah satu kloter. Komposisi jamaah haji Jawa yang rata-rata berpendidikan rendah, usai yang tua, seumur hidup baru sekali naik pesawat dan menginap di hotel serta budaya paternalistik, pattuh (maaf Taqlid ) kepada Kyai, Ustadz daripada petugas meskipun tokoh panutannya jauh di tanah air tidak ikut berhaji bersama yang berarti tidak tahu situasi kondisi jamaah haji apalagi tokoh panutannya itu berhajinya sudah puluhan tahun yang lalu alias zaman bahula.

     Pagi itu usai makan pagi saya berbicara dengan para jamaah tentang pelemparan jumroh, saya tunjukkan kertas berisi jadwal waktu melempar bagi jamaah di seluruh dunia termasuk Indonesia.Satu jamaah usia kisaran empat puluhan seorang petani tembakau menolak jadwal yang ditetapkan, mau melaksanakan lempar jumrah pagi ini karena mencari waktu afdol . Karena berdalil sunnah nabi dengan hadist shoheh dan tentunya saya tidak mau berdebat takut melanggar larangan haji yaitu rofas..saya hanya mempersilahkan sambil memperingatkan resiko ditanggung sendiri.Walhasil seluruh regu saya termasuk keluarga berangkat pagi itu jamarat/tempat melempar jumrah. Saya bersama istri tetap tinggal di tenda dan tetap memilih mematuhi jadwal yang ditetapkan, meski dalam hati sangat khawatir akan keselamatan keluarga saya yang ikut, baik keselamatan dalam arti celaka maupun keselamatan dalam arti tersesat jalan, tidak kembali ke Mina sampai pergantian hari yang berarti tidak melaksanakan salah satu rukun haji yaitu mabit di Mina.Kami terus berdoa untuk keselamatan keluarga. Ketika mengambil air wudhu hendak sholat dhuhur, kami kaget dan senang karena keluarga kami ikut ambil air wudhu. Penasaran karena kok cepat sekali lempar jumrahnya, sambil berjalan menuju tenda dari tempat wudhu, saya bertanya kok cepat sekali balik? Dijawabnya ketika masuk menjelang masuk pintu terowongan Mina ada petugas haji Indonesia yang memberitahu dan mneyuruh baik..haji Indonesia,haji Indonesia balik..balik Bahaya..bahaya. Saya hanya berkomentar..ya nanti sore atau malam sesuai jadwal nanti kita bersama-sama melempar. Keluarga saya mengiyakan.Jelas iya..mana tahu jalan ke jamarat..hehehhehe.Namun ada 4 jamaah diantara 1 laki-laki usia 62 tahun yang lolos terus menuju jamarat dengan petani tembakau. Sampai pukul 21.30 Waktu Saudi 4, orang belum kembali,gegerlah di tenda rombongan kami. Alhamdulillah pukul 23.00 Waktu Saudi mereka kembali dengan kondisi kelelahan, lesu, kumal,penuh debu, lemas. Usai diberi minum makan dan disuruh mandi kami tanya bagaimana bisa pulang malam?. Dijawabnya tersesat sampai mekkah, pulang diantar Askar/tentara Saudi ke maktab Indonesia, dari maktab diantar ke tenda kloter.Ketika saya sampaikan tidak nurut, membahayakan diri dan orang yang dibawa, petani tembakau yang memimpin tanpa bicara menyerahkan HP ke saya, dengan jelas saya baca sms dari Kyai x.. ” Afdole lempar, lakonono masia kedungsang-dungsang.... afdolnya lempar jumrah lakukan walau mengalamai kesengsaraan. ’... saya geleng geleng kepala, dengan sedikit bicara saya sampaikan..yo nurut saja sama orang yang tidak tahu situasi disini apalagi hajinya sudah zaman belum ada listrik....

         Menjaga keselamatan jamaah Indonesia begitu beratnya..keyakinan akan beberapa ritual yang terkadang bisa membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak dilakukan jamaah haji Indonesia.Contoh sebelum berangkat sebagai petugas kesehatan saya berulang mengingatkan bawa obat yang apabila para jamaah sedang dalam pengobatan dokter,daftarkan obatnya ke petugas, nanti petugas akan lapor imigrasi baik imigrasi Indonesia maupun Saudi demi kelangsungan pengobatan jamaah. Suatu hari usai umroh belum haji..jamaah haji Bali, mengalami drop, ternyata dia mengalami diabet, ketika saya tanyakan mana, obat, atau insulinnya..tidak dibawa..loh kenapa khan sudah dikasih tau dibawa. Jawabnya yang membuat saya mati kutu, ndak perlu bawa obat, minum air zam zam sembuh. Tanpa berucap saya dan dokter kloter tinggalkan di balai pengobatan Indonesia di Mekkah sambil pesan ke petugasnya jika pasien sembuh dipulangkan ke pondokan sms kami.

     Kelakuan jamaah Indonesia yang kurang dalam mematuhi aturan baik aturan kemenag, kesehatan, maupun aturan pemerintah Saudi. Kepercayaan tentang ritual-ritual haji ditambah fatwa kyai kyai panutan mereka menyebabkan mengurus jamaah haji Indonesia amat berat. Ketika menyaksikan komentar Imam Besar Masjid Istiqlal tentang penyelenggaraan haji bahwa ada provokator ulama yang menjadi salah satu penyebab jamaah haji Indonesia celaka, saya sangat setuju. Provokator karena mendorong jamaah untuk melanggar aturan-aturan yang ditetapkan. Anda bisa rasakan bagaimana gemes dan tidak habis pikir dalam hati saya ketika 2 hari menjelang wukuf, jamaah harus banyak istirahat terutama yang sudah lanjut usia dan resiko tinggi kesehatan, tidak nurut dengan tenangnya bepergian umroh sunnah dengan miqatnya di Jirana, puluhan kilometer dari Mekah dan membawa beberapa jerigen 10 literan untuk membawa air dari sumur di Masjid Jirana dengan keyakinan Berkah karena memang dalam riwayat Rasulullah ketika keracunan, berdoa dan meminum air sumur Jirana sembuh. Bukan masalah airnya, proses ke Jirana memerlukan waktu dan tenaga.

     Bukan hanya kelakuan jamaah haji Indonesia saja, kelakuan jamaah Afrika Non Arab(baca Negro) juga mempengaruhi jamaah Indonesia. Jamaah Haji Negro Afrika yang rata-rata tinggi besar mempunyai pola berjalan berkelompok dan berbondong-bondong(dampyak-dampyak bhs Jawa) serta tidak punya sopan santun. Ketika datang berombongan menerjang apa saja yang didepannya tidak peduli jamaah yang sedang berjalan, duduk bahkan sujud. Saya sendiri pernah terinjak kepala ketika sedang sujud , sholat dua rakaat di maqam ibrahim. Tanpa peduli apapun termasuk kepala yang sedang sujud, rombongan jamaah haji Nigeria melaksanakan thawaf jalan saja. Waktu mencari tempat sholat juga begitu, tidak perduli shaf sudah mepet, tanpa basa-basi masuk ke sela-sela badan, pada akhirnya jamaah haji Indonesia yang kecil terhimpit, apalagi kalau bersebelahan dengan jamaah Turki atau Arab, lengkap sudah penderitaan ketika jamaah negro Afrika menyelinap. Terhimpit diantara jamaah Turki dan Negro Afrika yang badannya tinggi dan besar.

   Semoga para korban diberikan tempat yang layak disisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan kesabaran. Aa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline