Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017 menjadi landasan hukum berdirinya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Menurut Pasal (3) Perpres tersebut, tugas UKP-PIP adalah membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan demikian, UKP-PIP memiliki peran dalam memfasilitasi Presiden untuk merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pembinaan ideologi Pancasila. Unit Kerja ini bertugas untuk menyusun panduan dan arahan yang mendasari upaya pembinaan ideologi Pancasila di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, UKP-PIP juga bertanggung jawab untuk mengoordinasikan berbagai instansi terkait dalam rangka memastikan bahwa pembinaan ideologi Pancasila dilaksanakan secara terintegrasi dan selaras dengan visi dan misi penguasa.
Setelah itu, terbitlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Jokowi merasa perlu merevitalisasi organisasi, tugas, dan fungsi dari UKP-PIP menjadi BPIP. Adapun Dewan Pengarah BPIP yang menjadi menjabat pada periode 2022-2027 yakni Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua; Try Sutrisno sebagai Wakil Ketua; Wisnu Bawa Tenaya sebagai Sekretaris; Said Aqil Siradj sebagai anggota; Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto sebagai anggota; Andreas Anangguru Yewangoe sebagai anggota; Rikard Bagun sebagai anggota, dan Muhammad Amin Abdullah sebagai anggota (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia).
Pendirian UKP-PIP merupakan reaksi kelas penguasa dari peristiwa-peristiwa terorisme yang dilakukan oleh kelompok konserfatif, terutama Islam Fundamentalis. Pembentukan unit kerja ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya penguasa untuk memperkuat "ideologi" Pancasila sebagai pijakan moral dan filosofis negara Indonesia dengan dalih "Mempertahankan Bangsa Indonesia dari ancaman terorisme." Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi tantangan serius dari ancaman terorisme yang terkait dengan fundamentalisme, terutama dalam konteks fundamentalisme Islam. Menghadapi hal ini, muncul reaksi balik dari penguasa yang menggunakan jargon-jargon yang seperti demam dengan Pancasila. Pancasila juga dilawankan dengan hal-hal yang bersifat fundamentalisme agama seperti "Pancasila vs Syariah Islam", "Kebhinekaan vs Fundamentalisme", "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) vs Khilafah", khususnya NKRI Harga Mati, dan lainnya. Jargon-jargon ini digunakan untuk mendukung negara dan penguasa dalam melawan musuh-musuhnya.
Posisi kaum Marxis dalam menghadapi kelompok fundamentalis seperti ini adalah melawannya. Jelas! Hal ini diperlukan untuk melawan gerakan reaksioner yang mengatasnamakan agama. Penting untuk diakui bahwa terorisme dan fundamentalisme agama yang reaksioner merupakan ancaman serius bagi masyarakat pekerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, kita harus mengetahui cara-cara yang tepat untuk melakukan perlawanan tersebut. Dukungan tehadap negara kapitalis dalam melawan gerakan fundamentalis tidak akan menyelesaikan masalah.
Hal ini tebukti ketika Amerika Serikat (AS) mengkampanyekan Perang Melawan Teror dengan cara-cara yang melanggar demokrasi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dan tentunya memprioritaskan kepentingan kapitalisme atas segala-galanya. Sekitar 100.000 warga sipil Irak tewas sejak invasi Amerika di Irak, huru-hara pasca kematian Ghadaffi terjadi akibat perang melawan terorisme oleh AS, dan sebagainya. Kita harus menanamkan rasa ketidakpercayaan terhadap sistem kapitalisme yang memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja.
Apakah Pancasila Ideologi?
Pada tahun 1966, Soekarno, mantan presiden Indonesia, menyampaikan pidato yang menyoroti konsep Nasionalisme, Agamisme, dan Komunisme (Nasakom). Dalam pidato tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa sebagai seorang Pancasilais, penting untuk mengakui eksistensi Nasakom dan dengan demikian, juga mengakui keberadaan komunisme di Indonesia. Pidato tersebut menyoroti pentingnya mengintegrasikan tiga elemen tersebut untuk membangun dan memperkuat persatuan dalam kerangka Pancasila.
Soekarno berpendapat bahwa nasionalisme harus menjadi fondasi yang kuat dalam memajukan bangsa, namun diimbangi dengan pengakuan dan penghargaan terhadap agama sebagai pilar penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, Soekarno juga menekankan bahwa mengakui eksistensi komunisme tidak berarti membenarkan semua aspek komunis, tetapi mengadopsi prinsip-prinsip yang relevan dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada intinya, Soekarno memberikan sudut pandang yang menekankan perlunya integrasi dan harmonisasi antara nasionalisme, agamisme, dan komunisme dalam kerangka Pancasila.
Ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan di Indonesia, dia melancarkan kampanye yang keras untuk memberangus gerakan komunisme dengan dalih anti-Pancasila. Hal ini dianggap bertentangan dengan gagasan Nasakom yang pernah dikemukakan oleh Soekarno. Soeharto menggunakan klaim anti-Pancasila sebagai dasar untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memulai era penindasan terhadap orang-orang yang dituduh memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis. Banyak orang yang terlibat dalam gerakan komunis atau memiliki pandangan kiri menjadi sasaran operasi militer yang dilancarkan oleh pemerintah, termasuk pembunuhan massal dan penahanan tanpa proses hukum yang adil. Tindakan Soeharto tersebut merupakan suatu kontroversi dan mengakibatkan hilangnya nyawa dan hak asasi manusia yang besar. Kebijakan ini sebagai upaya untuk menghilangkan oposisi politik dan konsolidasi kekuasaan, dan juga sebagai cara untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah potensi pengaruh komunis. Yang jelas, kebijakan ini adalah untuk memperkuat borjuasi dalam perpolitikan nasional. Yang kita soroti dari tindakan ini adalah bahwa bertentangan dengan gagasan Nasakom yang pernah diperjuangkan oleh Soekarno, di mana dia menekankan pentingnya mengintegrasikan tiga elemen tersebut dalam kerangka Pancasila untuk mencapai persatuan dan kemajuan bangsa.
Banyak perdebatan terkait posisi Pancasila dalam suatu spektrum politik. Pancasila dapat diklaim oleh kelompok kanan maupun kiri. Kelompok borjuasi maupun proletariat. Dalam hal ini, terdapat ambiguitas posisi spektrum politik dari Pancasila itu sendiri. Pandangan yang memandang Pancasila sebagai sayap kanan atau sayap kiri didasarkan pada penekanan yang berbeda pada sila-sila Pancasila. Beberapa orang menganggap Pancasila sebagai sayap kanan karena sila "Ketuhanan yang Maha Esa" menjadi fokus penting dalam pandangan mereka. Bagi mereka yang melihat Pancasila sebagai sayap kiri, sila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" menjadi landasan utama dalam penafsiran mereka. Perdebatan mengenai posisi Pancasila dalam spektrum politik mencerminkan kompleksitas dan dinamika dalam interpretasi nilai-nilai Pancasila.