Pendidikan filsafat pada masa kini telah menjadi instrumen kelas penguasa untuk mempertahankan dominasinya atas masyarakat. Filsafat kelas penguasa adalah filsafat yang mengajarkan gagasan-gagasan statis dan reaksioner. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan status quo dan menghindari pemikiran revolusioner yang dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Sebagai contoh, banyak masyarakat diajarkan filsafat reaksioner seperti postmodernisme, yang lebih fokus pada penolakan terhadap kebenaran objektif dan menunjukkan bahwa segala hal bersifat relatif dan subjektif. Meskipun filsafat memiliki potensi untuk memicu pemikiran kritis dan revolusioner seperti halnya filsafat dialektika, pendidikan filsafat saat ini lebih memilih untuk menjaga stabilitas daripada mendorong perubahan yang lebih baik.
Perlu diketahui bahwa filsafat merupakan sebuah metode berpikir yang berbeda dengan metode berpikir sehari-hari yang umumnya kita gunakan. Dalam filsafat, kita tidak hanya berhenti pada pengetahuan yang bersifat sementara, tetapi mencoba untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan mendalam tentang suatu masalah atau fenomena. Filsafat berusaha untuk menemukan dasar-dasar yang mendasari semua hal yang ada di dunia ini, serta mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab melalui metode berpikir sehari-hari. Dalam filsafat, kita mempertanyakan hal-hal yang kita anggap sudah pasti dan mencoba untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dalam hal ini, filsafat lebih fokus pada pemikiran analitis dan kritis, serta menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai kesimpulan yang lebih akurat dan obyektif. Melalui filsafat, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri, masyarakat, dan dunia di sekitar kita. Filsafat juga membantu kita untuk memahami nilai-nilai yang mendasari tindakan dan keputusan kita, serta membantu kita dalam memahami dan menghadapi permasalahan yang kompleks dan sulit untuk diatasi.
Meskipun filsafat merupakan sebuah metode berpikir yang berbeda dengan metode berpikir sehari-hari, namun tetap memerlukan basis material yang mendasarinya. Filsafat tidak akan muncul apabila kita tidak memiliki kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang memadai. Karena itu, kita harus memenuhi kebutuhan material dasar agar dapat mengembangkan pemikiran filosofis yang lebih mendalam. Dalam filsafat, kita mempertanyakan dan merenungkan hal-hal yang bersifat abstrak, seperti arti kehidupan, hakikat manusia, dan konsep kebenaran. Namun, pemikiran filosofis tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman kita dalam menghadapi realitas material yang kita hadapi sehari-hari. Tanpa adanya pengalaman-pengalaman tersebut, filsafat hanya akan menjadi wacana kosong yang tidak memiliki landasan yang kuat. Sebaliknya, dengan memperhatikan kebutuhan material kita, filsafat dapat membantu kita untuk mencari solusi dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan.
Filsafat adalah bentuk ekspresi intelektual atau kebenaran pada suatu masa, karena munculnya filsafat selalu terkait dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat. Disisi lain, filsafat tidak dapat dipisahkan dari moda produksi yang ada pada suatu periode sejarah umat manusia. Moda produksi yang berkembang pada suatu masa dapat mempengaruhi pemikiran filosofis yang muncul pada masa tersebut. Sebagai contoh, pada zaman feodalisme, pemikiran filosofis yang dominan adalah filsafat reaksioner yang menekankan pada kepatuhan terhadap aturan dan tradisi. Hal ini terkait dengan sistem produksi feodal yang bersifat statis dan hierarkis. Sementara itu, dalam perkembangan awal dari sistem produksi kapitalis, filsafat yang muncul menjadi lebih progresif dan menekankan pada kebebasan individu dan rasionalitas. Artinya, filsafat sangat dipengaruhi oleh perkembangan moda produksi pada suatu masa. Filsafat juga sangat memainkan peran penting dalam mengubah cara berpikir dan bertindak suatu masyarakat, sehingga mempengaruhi perkembangan moda produksi ke tahap yang lebih tinggi. Dalam kesimpulannya, hubungan antara filsafat dan moda produksi sangat erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Revolusi neolitik adalah titik awal dari perkembangan awal dari filsafat. Revolusi neolitik tidak hanya memungkinkan manusia untuk mengembangkan masyarakat yang lebih kompleks, tetapi juga memungkinkan perkembangan awal dari filsafat yang terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Hal ini disebabkan karena perubahan yang terjadi pada masa itu menandai transisi manusia dari kehidupan nomaden menjadi pemukiman tetap. Perubahan ini memungkinkan manusia untuk mengembangkan sistem pertanian dan peternakan yang lebih efisien, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk menetap dan membentuk masyarakat yang lebih kompleks. Dalam lingkup masyarakat yang lebih besar, manusia mulai mempertanyakan hakikat keberadaan mereka dan hubungan mereka dengan alam sekitar. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar dari perkembangan awal dari filsafat. Pada saat itu, kepercayaan religius dan mitos masih menjadi dasar pemikiran manusia, namun kemunculan filosofi Yunani kuno menandakan transisi ke era pemikiran rasional yang lebih maju.
Kesadaran manusia pada umumnya cenderung konservatif karena mereka merasa nyaman dengan keadaan yang telah mereka kenal dan kuasai. Namun, alam selalu memaksa manusia untuk berubah. Sebagai contoh, nenek moyang manusia di Afrika pada awalnya cenderung ingin berada di posisinya, tetapi alam memaksa mereka untuk bergerak, dan akhirnya terjadi evolusi pada fisik mereka. Proses evolusi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang karena manusia harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Perubahan ini memaksa manusia untuk belajar dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kemampuan berburu, pertanian, dan teknologi. Evolusi ini juga mempengaruhi cara manusia berpikir, membuat mereka harus berpikir rasional. Pada akhirnya, perkembangan manusia ini membentuk peradaban dan masyarakat yang lebih maju dan kompleks. Meskipun manusia pada awalnya merasa enggan untuk berubah, mereka akhirnya terpaksa melakukannya untuk bertahan hidup dan berkembang. Perubahan alam dan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia saat ini menuntut manusia untuk beradaptasi dan berubah. Hal ini termasuk dalam mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan yang semakin kompleks dan memerlukan solusi yang rasional.
Perkembangan awal filsafat terutama melibatkan tiga tokoh penting, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka hidup pada masa demokrasi Yunani Kuno dan berkontribusi besar terhadap pemikiran filsafat pada masa itu. Sayangnya, tidak ada satu pun tulisan Socrates yang selamat, yang tersisa hanya dialog-dialog yang ia miliki. Dialog-dialog Socrates sering dikenal sebagai metode dialektika. Dialektika menjadi kata kunci dalam filsafat Socrates, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "dialog" atau "diskusi". Dialektika melibatkan argumen yang saling kontradiktif, dimana diskusi antara dua argumen akan menemukan tingkatan yang lebih tinggi. Namun, kelemahan dalam pendekatan Socrates adalah terbatas pada dialog saja, bukan dari materi yang dibahas. Aristoteles dan Plato, murid Socrates, kemudian melanjutkan dan mengembangkan filsafat Socrates. Aristoteles, sebagai filsuf yang menerapkan pemikiran sistematis dan rasional, memperkenalkan logika sebagai metode yang tepat dalam memahami dunia.
Pada awal perkembangan filsafat, dialektika menjadi salah satu filsafat yang paling menonjol dan menjadi fondasi penting bagi filsafat perubahan. Filsuf pertama yang dikenal dalam kaitannya dengan dialektika adalah Heraclitus. Ia mengamati dunia bergerak dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam dunia selalu berubah, tidak ada yang tetap dan konstan. Filsafat Heraclitus menjadi terkenal sebagai filsafat revolusioner karena pandangannya yang berbeda dengan kelas penguasa pada masanya yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Heraclitus melihat bahwa segala sesuatu dalam alam dan manusia selalu berada dalam keadaan yang bertentangan, sehingga perubahan tidak dapat dihindari.
Socrates hidup pada masa demokrasi Athena, dimana terdapat kebebasan yang luas bagi pemilik budak. Pada masa lalu, pemilik budak memiliki kebebasan yang luas dalam mempekerjakan budak mereka. Budak dianggap sebagai milik dan bukan sebagai manusia yang sepadan manusia lainnya. Konsep kerja pada masa itu adalah hal yang sangat merendahkan martabat manusia.
Dalam situasi seperti itu, muncul orator-orator ulung yang dinamakan sebagai kaum Sofis. Dalam masa itu, muncul kaum Sofis yang berusaha mengkritisi segala hal yang ada, menyerang dogma lama dan ortodoksi yang sudah ada. Namun, akhirnya kaum Sofis dibayar oleh politisi, yang membuat mereka menjadi subyektif dalam mengambil keputusan. Protagoras, salah satu tokoh Sofis, menganggap kebenaran adalah subyektif dan ini menjadi dasar dari idealisme subyektif. Meskipun begitu, terdapat sumbangsih dari Socrates dan kaum Sofis dalam mengungkapkan kontradiksi internal yang ada dan menjadikannya generalisir. Socrates dan kaum Sofis mencoba untuk mengkritisi setiap pandangan dan keyakinan yang ada, mempertanyakan dan merangkum ide-ide yang saling bertentangan untuk mencapai kebenaran yang lebih universal dan objektif. Hal ini menciptakan fondasi penting bagi perkembangan filsafat di masa depan.
Meskipun terdapat banyak kelemahan dalam pendekatan kaum Shopis yang cenderung subyektif, Socrates dan kaum Shopis memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan filsafat pada masa itu. Mereka berhasil mengungkapkan kontradiksi internal yang ada pada berbagai aspek kehidupan dan menjadikannya sebagai generalisir yang dapat diaplikasikan secara universal. Pendekatan Socrates yang terfokus pada dialog dan diskusi telah membantu memperkuat metode dialektika sebagai salah satu fondasi utama dalam filsafat perubahan. Meskipun tidak ada tulisan langsung dari Socrates yang selamat, dialog-dialog yang ia miliki memberikan kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran filosofis pada masa itu. Sedangkan kaum Shopis, meskipun terkadang terdorong oleh motif politik, berhasil menyerang dogma lama dan ortodoksi, dan menjadi pionir dalam mengkritisi berbagai aspek kehidupan. Namun, harus diakui bahwa kelemahan subyektifisme yang dominan pada kaum Shopis menjadi kritik yang kuat dalam perkembangan filsafat pada masa itu.