Lihat ke Halaman Asli

"Oleh-oleh" Malaikat di Malam Qadar

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam qadar; 2) dan tahukah kamu, apakah malam qadar itu?; 3) malam qadar itu lebih baik dari seribu bulan; 4) pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan; 5) dialah keselamatan hingga di tempat terbitnya fajar.

Pada artikel sebelum ini telah disebutkan bahwa malam qadar itu merupakan citra diri seorang manusia yang kembali kepada azalinya dan fitrahnya. Sebagaimana tujuan diturunkannya perintah puasa adalah agar kita menjadi orang bertaqwa. Hal itu dapat dilihat dari akhir Ramadhan yang diistilahkan kembali suci (‘iedul fitri) di awal bulan Syawwal nanti.

Kembali suci adalah sebuah keadaan dimana seseorang mengalami “pemudaan kembali” dan kesucian itu disematkan sebelum ia “brojol” ke muka bumi nan fana ini. Di dalam kesucian itulah fitrah taqdirnya. Fitrah taqdir itu ditemukan pada keadaan yang dialami seseorang ketika menyaksikan sesuatu seperti yang ia saksikan di awal kejadiannya. Itulah yang disebut malam qadar, malam ketetapan nilai, malam ukuran.

Pada malam qadar itu disebutkan bahwa malaikat turun seizin Tuhan dengan membawa perintah. “Urusan” yang dimaksud dalam terjemahan surat al-Qadr ayat 4 itu adalah perintah Tuhan. Perintah itu sebagai realitas dari perubahan taqdir, nilai atau ukuran. Sesuatu yag mesti dilakukan selanjutnya bagi mereka yang menemukan ukuran dirinya di awal mula, yang disebut dengan malam qadar itu.

Perintah yang dibawa oleh malaikat adalah sebuah arahan dan bimbingan untuk berjalan di dunia fana ini menuju arah tertentu. Arah itu adalah sebuah pentahapan dari perjalanan ruhaninya untuk kembali kepada Tuhan.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana sih cara malaikat turun ? heheheee…

Begini ya say, di ayat 4 surat al-Qadr itu disebutkan tentang malaikat dan ruh yang turun. Ayat tersebut mendikotomi terminology antara malaikat dan ruh. Malaikat adalah mekanisme hukum Tuhan yang mengatur dan membatasi gerak manusia sedangkan ruh adalah kode etik untuk sebuah pengaturan dan pembatasan perbuatan tersebut.

Ketika dikatakan bahwa malaikat dan ruh itu turun adalah realitas terbukanya kesaksian awal bagi manusia yang tengah mengakui keadaan dirinya terhadap Tuhannya. Dirinya yang tengah berada dalam kegelapan “mengetuk” pintu “rumah Tuhan” agar ia diperkenakan memasuki alam cahaya yang bisa menjadi penerang buat dirinya yang tengah berjalan di alam kegelapan. Pengakuan akan keadaan dirinya itu telah membuka “keran” rahmat Tuhan sehingga Tuhan menurunkan perintah. Perintah itu dibawa oleh malaikat dan ruh untuk disampaikan kepada hamba yang tengah bersimpuh pasrah di depan pintu “rumah” Tuhan.

Malaikat dan ruh adalah sebutan untuk mekanisme penguasaan Tuhan terhadap manusia dan menetapkan kehidupan suci di dalam dirinya dengan tiupan ruh sebagaimana awal mula kejadiannya, “wanafakhtu fiihi min ruuhii”. System bekerjanya tubuh dan panca indera mengalami penguatan sehingga ia berada pada kecendrungan yang kuat untuk hanya patuh pada perintah Tuhan. Nafas seseorang yang menerima “oleh-oleh” dari malaikat akan melahirkan ucapan dan tindakan yang selaras dan berbobot nilai kesucian. Bukanlah karena sebuah paksaan atau indoktrinasi yang dia dapatkan secara materialistik, tapi muncul dari sebuah kekuatan yang keluar dari nafasnya sendiri. Padahal ia sendiri tidak pernah menduga-duga bahwa dirinya punya kekuatan untuk cendrung pada prilaku positif. Itulah diri yang telah menerima perintah Tuhan atau “oleh-oleh” di malam qadar.

Perintah yang dikatakan sebagai “oleh-oleh malaikat” itu adalah hasil dari perjalanan kehidupannya di masa lampau yang disebut sebagai “transaksi dengan Tuhan”. Nilai transaksi dengan Tuhan itulah yang menentukan perubahan taqdir kehidupannya. Karena transaksi itu akan membawanya kepada fitrah kejadian dirinya dan kesaksian awalnya ketika ia berada di alam terang atau alam cahaya (lauhul mahfuudz).

Kewajiban zakat fitrah yang diperintah kepada setiap orang Islam di bulan Ramadhan adalah simbolisasi kembali ke nilai dasar. Hal itu dimaksudkan untuk menandakan sebuah tekad kembali kepada “khiththah kejiwaan”, yang bermakna pula “amanah ke-Tuhan-an”.

Zakat fitrah adalah simbolisasi sebuah perjalanan suci yang dimanifestasikan dengan sebuah pengorbanan agar “khiththah kejiwaan” bisa dicapai sehingga Tuhan memberikan kesempatan kepadanya untuk peningkatan nilai. Kembali kepada khiththah kejiwaan adalah amanah ruhani agar setiap orang yang berpuasa dapat menemukan dirinya untuk melakukan perjalanan selanjutnya.

Dikatakan bahwa ketika seseorang yang tengah berada di dalam kegelapannya lalu ia menemukan jalan menuju sumber cahaya, maka ia merupakan orang yang selamat. Selamat hingga ia bertemu di tempat memancarnya cahaya (hattaa mathla’il fajr). Mathla’ul fajr adalah sumber cahaya dimana kesaksian ruh itu total. Dirinya telah luruh sebagai makhluk, bahwa ia bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa.

Semoga saja diri kita mencapai ufuk fajar yang mengalirkan cahaya bagi keluarga, lingkungan, bangsa dan Negara. Amiin… Wallaahu a’lam, wahuwa muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq.

alHajj Ahmad Baihaqi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline