Lihat ke Halaman Asli

Jatidiri Manusia Itu Sosok Ilmu

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap detik, setiap manusia mesti belajar. Meski di dalam tidurnya, ia tetaplah berproses dalam pembelajaran. Belajar tanpa gedung sekolah, iuran, seragam dan sebundel atribut “menuntut ilmu” masa kini yang disebut sekolah. Tiada henti, tanpa batas, dan tanpa ecek ebrek pendaftaran atau tuntutan formal segala macam. Disebut juga “sekolah alam semesta” atau otodidak.

Dalam bahasa kerennya, metode pembelajaran model otodidak seperti itu disebut juga metode pembelajaran inquiry, yakni menemukan jawaban sendiri dari pertanyaan atau daya kritis yang dimunculkan sendiri. Metode seperti itu juga sudah dipakai oleh sebagian sekolah.

Apapun namanya, saya hanya ingin share bahwa pendidikan sepanjang hidup (long life education) itu mutlak dan penting bagi setiap orang, tanpa alasan-alasan beban hidup yang konon semakin berat, tanpa alasan bahwa kepala sudah terasa emod (lembek), atau tanpa alasan karena otak yang sudah terasa gak nampung lagi. Itupun jikalau masih ingin dikatakan “hidup”. Terkecuali bagi mentalitas yang sudah “mati”, putus asa, dsb.

Bagi kepentingan tumbuh kembang diri, pendidikan itu memang tiada batas waktu dan tak tersekat ruang. Kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun, belajar tak boleh berhenti; “dari buaian ibu sampai ke liang lahat”, begitu kata Nabi SAW. Artinya, batas pendidikan itu, ya justru usia manusia itu sendiri, dari lahir sampai matinya, hingga jarak terjauh langkahnya dan pandangannya. Jadi, pendidikan (menuntut ilmu) itu adalah mengeksplorasi jogrogan diri kita sendiri.

Dilihat dari subyek yang mencari dan obyek yang dicari serta tujuan yang akan dicapai, istilah “ilmu” itu sebenarnya merujuk kepada suatu sosok yang tidak kemana-mana dan tidak di mana-mana, tak lain, adalah diri kita sendiri. Menuntut ilmu adalah “eksistensi hidup” diri kita sendiri. Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi sebuah Hadits; “sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secabut-cabutnya begitu saja, tetapi Allah akan mencabut ilmu dengan cara mewafatkan (qabdh) para ulama”. Matinya para ulama bermakna ilmu telah dicabut oleh Allah.

Terkadang seringkali kita beralasan bahwa umur, perkawinan, anak dan pekerjaan serta beban-beban lain yang diasumsikan sebagai beban hidup telah menjadi penghalang bagi penempaan diri lewat menuntut ilmu. Hal ini menjadi semacam dogma yang berurat akar bagi kebanyakan kita, sehingga dedikasi sebagai “manusia hidup” telah terhenti dari perjalanannya.

Ditambah lagi, bahwa istilah menuntut ilmu itu telah dipersempit maknanya, yakni harus melalui lembaga-lembaga formal dengan metodologi baku, yang ketika selesai diberikan selembar kertas berupa ijazah dan titel. Padahal, di zaman infokom seperti sekarang ini, tak boleh ada alasan berhenti untuk terus menuntut ilmu. Fasilitas dan akses informasi semakin mudah dijangkau.

Jika masih ada di kepala kita sebuah pemikiran bahwa menuntut ilmu itu adalah bermakna sekolah dengan segala metode formalnya, maka sungguh diri kita telah dipersempit oleh paradigma modern yang justru primitif. Bahkan, jikalau memang begitu, maka tujuan menuntut ilmu telah mengalami penyimpangan. Artinya, penempaan dan pemanfaatan “daya hidup manusia” nya tidak akan tercapai. Walhasil, harta, waktu dan tenaga telah banyak keluar, namun tidak mendapatkan apa-apa dari belajarnya, kecuali selembar kertas ijazah dan sedikit pengetahuan yang sebenarnya bisa didapat tanpa perlu sekolah dan biaya-biaya mahal.

Saya tidak mengatakan bahwa sekolah dengan segala aktifitasnya itu tidak penting. Hanya ingin mencolek sedikit kesadaran tentang sebuah orientasi dasar dari yang dikatakan sebagai menuntut ilmu. Jadi, yang punya biaya silahkan sekolah, sedangkan yang tidak punya biaya ya jangan berkecil hati. Punya biaya atau tidak, keduanya tetap dituntut untuk selalu membangkitkan spirit agar bisa mengembangkan dan memanfaatkan daya hidupnya, yakni menuntut ilmu.

Dengan demikian, janganlah berhenti dari orientasi dasar sebagai manusia. Karena sosok manusia adalah ilmu itu sendiri. Menuntut ilmu bermakna mencari jatidiri. Jatidiri adalah cahaya sejati yang melesat seperti buraq, terbang menembus langit menuju kesadaran yang paling akhir (sidrah al-muntaha). Wallahu Muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq…

alHajj Ahmad Baihaqi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline