Lihat ke Halaman Asli

‘Innocence of Muslims’; Upaya Justifikasi AS Terhadap Peristiwa 11 September

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Patut Mati !” Begitulah kira-kira cara Amerika membuat drama untuk mempertahankan hegemoninya di dunia. Kata-kata “Patut Mati” memang mereka ambil untuk tidak memberikan peran terhadap orang-orang Amerika di Timur Tengah, termasuk Dubesnya sendiri, J. Christopher Stevens.

Ambassador J. Christopher Stevens memang didramakan untuk dibunuh oleh mereka sendiri melalui provokasi murahan dengan membuat film amatir berjudul ‘Innocence of Muslims’. Sebuah drama yang ditujukan untuk memperkukuh posisi AS di dunia internasional.

Apa yang terjadi di Libya, yang menyisakan kematian J. Christopher Stevens, sama persis dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada gedung WTC pada 11 September 2001. Mereka “sampai hati” melakukan serangkaian kegiatan membunuh sekian banyak orang “tak berdosa” (genosida) hanya untuk mendapatkan efek domino terhadap pencitraan Timur Tengah. Pola seperti ini seringkali dilakukan pada saat AS mengalami kepanikan ekonomi.

Resesi ekonomi yang melanda AS adalah akar masalah. Diktatorianisme terselubung menyisakan genosida kerap melanda negara-negara yang merasa dirinya punya kekuatan. Pola seperti ini sering dilakukan rezim-rezim diktator sejak ratusan tahun yang lalu. Menjadi tidak berbeda sama sekali dengan diktator Hitler, rezim Polpot, Idi Amin, Lenin, dll. Genosida menjadi sebuah cara yang paling ampuh untuk menciptakan hegemoni. Karena itu, propaganda dan pencitraan kerap kali menjadi target dalam strateginya.

J. Christopher Stevens

Ambassador J. Christopher Stevens adalah seorang pejuang perdamaian. Ia sering melakukan sebuah upaya perdamaian melalui serangkaian jabatan yang pernah diemban. Dalam biografinya yang tertulis di US Department of State, Stevens disebutkan sebagai seorang yang begitu penting terhadap sepak terjang Amerika di Timur Tengah.

Serangkaian jabatan yang diembannya menunjukkan bahwa dialah orang yang selama ini paling berpengaruh (jika tidak dikatakan sebagai menghalang-halangi) propaganda AS sebagai negara adidaya, khususnya Timur Tengah sebagai “nafas”nya sendiri. Ekonomi AS sangat bergantung di Timur Tengah. Kebutuhan energi yang begitu tinggi, sementara daya beli semakin berkurang, memaksanya untuk tetap melakukan serangkaian aksi radikal. Resesi ekonomi beberapa tahun belakangan telah memunculkan kepanikan yang luar biasa.

Amerika memasuki bayang-bayang kebangkrutannya. Seperti pernah terjadi di awal abad 20 yang seluruh aset Amerika di kuasai swasta. Pemerintah berhutang kepada partikelir. Juga pernah dialami Indonesia ketika VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) menjajah. Penjajahan Indonesia selama 350 tahun adalah penjajahan kaum kapitalis.

Sepak terjang kapitalis telah meruntuhkan nilai-nilai nasionalisme terhadap apapun. Ia tidak melihat sekat-sekat negara, agama, ras, golongan dll. Semua sekat itu hanya dijadikan pijakan untuk melanggengkan kekuasaannya. Sistem ekonomi dunia adalah “hasil karya”nya. Ia mampu “membeli” nilai apapun dengan uang. Ia tega melakukan pemberantasan etnis (genosida) untuk mempertahankan ladangnya. Ia tidak memandang nilai-nilai kebangsaan. Saudara sebangsapun, jika menjadi penghambat, harus dibunuh. Begitulah yang terjadi pada J. Christopher Stevens, Dubes AS untuk Libya.

Jabatan-jabatan yang pernah diemban Stevens selain sebagai Dubes antara lain :


  1. Deputy Principal officer and Political Section Chief in Jerusalem;
  2. Political officer in Damascus;
  3. Consular/political officer in Cairo;
  4. Consular/economic officer in Riyadh.
  5. Director of the Office of Multilateral Nuclear and Security Affairs;
  6. Pearson Fellow with the Senate Foreign Relations Committee;
  7. Special assistant to the Under Secretary for Political Affairs; Iran desk officer;
  8. Staff assistant in the Bureau of Near Eastern Affairs.

Posisi Stevens yang begitu dominan dianggap sebagai sosok yang justru memperlemah kemampuan AS untuk menguasai ladang-ladang minyak dan menurunkan stabilitas perdagangan senjata. Apalagi isu yang selama ini dilontarkan untuk menyerang Iran yang dianggapnya sebagai basis pertahanan Timur Tengah. Karena beliau juga termasuk sebagai ‘Iran Desk Officer’ di bawah Special assistant to the Under Secretary for Political Affairs. Tugas yang selama ini paling berat dalam menangani isu Iran.

Hasil “kerajinan tangan” Steven di beberapa negara di Timur Tengah membuat AS menaruh curiga. Hingga pada akhirnya ia harus dikatakan “patut mati”. Pengalamannya sebagai pengacara dan mediator handal, dianggap sebagai “penghambat”. Hal ini disebabkan justru karena ia memanfaatkan jabatannya seperti untuk bertindak sebagai “mediator perdamaian” antara AS dengan negara-negara di Timur Tengah. Sebuah aktifitas yang sangat kontra produktif bagi “stabilitas” kontroversial hegemoni AS.

Drama pembunuhan Steven memang sudah direncanakan jauh-jauh hari, sejak ia ditetapkan sebagai Dubes AS di Libya. Terpilihnya ia sebagai Dubes di Libya, mencerminkan posisinya yang sangat kontroversial bagi kepentingan AS. Libya adalah sebuah jantung di Timur Tengah. Letak geografis yang begitu signifikan untuk memulai era baru bagi perdagangan senjata. Karena, pada saat Muamar Ghaddafi masih hidup (tahun 2008), nota kerjasama pembelian senjata dengan Moskow telah ditandatangani.

Momentum Peristiwa 11 September

Rakyat Amerika bukanlah orang-orang yang bodoh. Peristiwa yang sangat dahsyat pada 11 September 2001 silam adalah salah satu pola untuk mengambil sebuah pencitraan. Begitu pentingnya pencitraan, hingga ia rela mengambil metode yang paling kejam dan tragis. Ironinya, rakyat Amerika justru tertarik terhadap ajaran-ajaran Islam. Hingga jumlah para muallaf dalam kurun waktu 5 tahun terakhir meningkat tajam.

Adalah suatu kenaifan jika pada prosesnya hegemoni itu diambil dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Kebanyakan orang justru mengernyitkan dahi, ketika tim pencari fakta bentukan pemerintah AS “berhasil” mengambil kesimpulan akhir yang “tanpa kesimpulan”. Banyak rangkaian investigasinya menyimpulkan terjadinya missing link. Tidak ada kaitan antara kelompok Alqaida dengan penabrakan pesawat ke gedung WTC. Bukti-bukti di lapangan tidak mencukupi untuk menyimpulkan bahwa pelaku pembajakan pesawat itu adalah orang-orang Alqaida. Belum lagi, ketika tim ingin menyelidiki aliran dana untuk membiayai operasi peledakkan pesawat ke gedung WTC itu mengalami hambatan yang tidak masuk akal. Hal-hal teknis yang semestinya tidak perlu menjadi hambatan untuk pencarian fakta dari kasus yang sedemikian besar. Lalu mengapa hambatan itu sampai terjadi.

Kesimpulan yang tanpa kesimpulan justru membuat semacam “pemberontakan kesadaran” bagi sebagian besar rakyat Amerika. Bahwa ada semacam “X-man” yang bermain di balik peristiwa itu. Kekuatan yang dapat mengendalikan pemerintah AS sendiri justru dilakukan oleh orang-orang dalamnya. Kekuatan supra-struktur telah menjadi penentu akan kebijakan-kebijakan pemerintah AS untuk tetap mengambil peran di dunia internasional. Begitulah kira-kira kesimpulan dari cara pandang mayoritas rakyat AS terhadap peristiwa yang disebutnya sebagai “september kelabu”. Walhasil, rakyat Amerika semakin tidak percaya terhadap pemerintahnya sendiri. Menurunnya kepercayaan (trush) rakyat Amerika terhadap pemerintahnya telah melahirkan instabilitas ekonomi.

Kondisi itu sangat mengganggu jalannya pemerintahan, hingga ia rela mengambil sebuah tindakan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat dengan mengambil memontum 11 September sebagai hari yang kelabu. ‘Message’ nya adalah bahwa seolah-olah benar peledakan gedung WTC itu dilakukan oleh orang-orang Alqaeda. Jadi, semacam mereview ingatan orang-orang yang menjadi korban peledakkan gedung WTC agar dendam terhadap kelompok Alqaeda tetap membara. Dendam para korban peledakkan gedung WTC itu dimaknakannya sebagai dendam terhadap orang-orang Islam, dus stigmatisasi terhadap ajaran-ajarannya.

Film ‘Innocence of Muslims’

Film yang sempat diunggah melalui situs video terbesar ‘Youtube’ itu disebut sebagai pemicu kematian Steven, Dubes AS untuk Libya. Reaksi terhadap film yang menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW dengan bumbu adegan-adegan yang seronok itu begitu besar. Reaksi itu juga merupakan salah satu rekayasan dari serangkaian besar rekayasa (grand design) untuk melakukan operasi pembalian rasa kepercayaan rakyat Amerika dan dunia internasional.

Film yang tidak lebih bagus dari sinetron Indonesia itu tidak memerlukan harga mahal dalam membuatnya, sebagaimana umumnya film-film hollywood. Umat muslim Timur Tengah yang sangat reaksioner itu memang ditunggu reaksi-reaksi radikalnya demi sebuah alasan untuk melakukan feedback, yakni legitimed invasion. Bahkan reaksi itu semakin lebih terlihat radikal dengan mengorbankan seorang Dubes. Sungguh sebuah planning yang sangat terstruktur.

Pendeta Terry Jhon, sosok yang sangat kontroversial, mengatakan bahwa film itu tidak menghina Islam. Ia malah mengejek orang Islam yang mudah bereaksi terhadap segala hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad dan al-Qur’an disebutnya sebagai tindakan syetan. Bahkan ia menyebut bahwa film ‘innocence of muslim’ menggambarkan seolah-olah al-Qur’an itu hanya tulisan tangan Nabi Muhammad, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Hah, sebuah pernyataanyang sangat provokatif. Sengaja dilontarkan hanya untuk memancing reaksi ekstrem.

Presiden Obama bereaksi keras. Terlontar sebuah pernyataan yang hampir mirip dengan pernyataan Bush beberapa saat setelah terjadi peristiwa 11 September 2001. Tapi ia tidak sempat melontarkan kata-kata “crussade” (perang suci) sebagaimana diucapkan Bush. Reaksi Obama yang nampak heroik menunjukkan semacam doktrin nasionalisme Amerika. Ternyata pernyataan itu seolah mencerminkan seorang yang kehilangan kepercayaan rakyatnya dalam memimpin negara. Dan melalui ‘momentum’ kematian Steven ia coba membangkitkan kembali nasionalisme Amerika yang sempat ‘hilang’ seiring hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya lantaran bersimpati terhadap ajaran-ajaran Islam. Mayoritas warga Amerika semakin menaruh simpatik kepada umat Islam dan ajaran-ajaran kedamaiannya. Ternyata warga Amerika memang cerdas.

Bola panas terus menggelinding. Reaksi dunia Islam semakin radikal. Reaksi-reaksi ekstrim itu ternyata sudah dilontarkan lebih dulu oleh Obama. Sepertinya reaksi itu memang mudah terbaca. Negara-negara mana saja yang akan melakukan aksi-aksi yang bakal memakan korban, itu sudah terdata dan terbaca. Sejauhmana tingkat kerusakannya pun sudah terbaca. Berapa kerugian dan jumlah korban pun sudah bisa diprediksi. Sekali lagi, tak perlu susah untuk membuat kekacauan dunia, yakni hanya dengan film amatiran yang murah dan kacangan.

Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Begitulah peran Amerika yang selama ini memposisikan dirinya sebagai ‘polisi dunia’. Persoalannya bukan sekedar pemerintah atau rakyatnya, tapi ada kekuatan lain yang membuat pemerintah menjadi lemah. Kekuatan lain itu adalah sosok yang selama ini mempermainkan dunia. Desainnya persis seperti operasi peristiwa 9/11. Hanya, operasi kali ini tidak semahal peristiwa 9/11.

The man behind the camera. Bukan tidak mungkin efek yang diharapkan dari kekacauan ini adalah perang dunia ke-3. Karena para kapitalis global telah mengalami keruntuhannya dengan tidak bisa menundukkan kecerdasan yang jernih dan independen. Apapun yang dilakukannya tidak akan bisa menggoyahkan cara pandang orang-orang yang percaya dan bergantung kepada Tuhan. Para pecundang kapitalis telah memanfaatkan sektor-sektor yang paling sensitif untuk diadu domba, yakni agama dan para pemeluknya yang mudah dipecundangi. Para pecundang adalah bonekanya untuk memainkan konflik. Para penganut agama yang setengah-setengah kerap dipecundangi untuk tetap berkonflik. Semakin langgeng konflik, semakin langgeng pula kapitalis berkuasa. Namun sesungguhnya, kebenaran sejati tidak akan pernah runtuh meski dibombardir oleh kesombongan dan tidak pernah busuk meski dilempari sejuta kotoran. Ia tetaplah murni sepanjang zaman. Terjaga oleh komitmen orang-orang yg berpegang teguh terhadap kemurnian dan kejernihan. Itulah kehendak Tuhan.

Achmed by Haqq

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline