Ironis, beberapa orang teman berdebat dan menghabiskan waktunya untuk memperdebatkan “jagoannya” masing-masing dalam pilkada. Masing-masing membela “jagoannya” sekaligus menjatuhkan “musuhnya”. Perdebatan tanpa batas, hingga masuk ke ruang yg paling sensitive, yakni SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan).
Setelah peristiwa seorang artis dipanggil KPU gara2 isu SARA yang terlontar ketika sedang berceramah di dalam Masjid, nampaknya warga Negara kita ini perlu banyak belajar hingga mencapai suatu ketetapan yang mantap tentang bagaimana seharusnya meletakkan koridor SARA di dalam blantika berpolitik dan bernegara.
Saya tidak sedang dalam kapasitas mendukung salah satu calon, namun yg saya sayangkan, mengapa sebagian orang begitu terlalu ringan mejustifikasi sebuah fenomena social-politik dengan teks-teks kesucian agama. Hanya untuk mengambil jalan pintas mencapai dan menarik rasa kepercayaan public terhadap informasi yg digenggamnya, dia rela melontarkannya dengan dalil2 agama. Ironisnya lagi, si audiens percaya 100%, bahkan mungkin 1000% dengan informasi yang disampaikan. Persetan dengan konfirmasi2. Kira2 begitulah fenomena di zaman sekarang, yg katanya, era infokom…
Kita sering lupa, bahwa sejarah yg paling kelam dalam kekejaman terhadap kemanusiaan disebabkan oleh informasi dan komunikasi yang berada diatas semua keyakinan manusia (agama, pemikiran, budaya, dsb).
Dunia politik itu adalah asumsi-asumsi yang dengannya muncullah sebuah strategi. Dikonkretkan dengan berbagai macam element2 politik berdasarkan kelas social dan kelompok2. Mulailah agitasi dan propaganda dimainkan. Hah…!, ayat-ayat suci dan sentiment rasial dimanfaatkan untuk menggenjot popularitas dan perhatian public. Lagu lama?!!
Ternyata cara pandang kita terhadap keaneka ragaman yang diciptakan Tuhan belum bisa kita tempatkan. Hanya untuk memenuhi prasyarat bahwa seorang pemimpin harus dari kalangan “kita”, tak peduli brengsek atau tidak, lalu kita buat justifikasi untuk membenarkan sikap kita. Bukan soal berkaitan dengan perintah agama lalu seseorang harus mengabaikan pandangan-pandangan umum tentang sebuah kelaziman. Lha, penjahat ya tetap saja penjahat, seorang alim, ya tetap saja alim. Tak akan bisa mengkaburkan cara pandang kepada yg baik ataupun yg buruk. Teori alam ruhani yang diberikan Tuhan tidak akan salah; “kebaikan dibalas kebaikan, keburukan dibalas keburukan”.
Lho, kok kita memaksakan diri untuk membabi buta membela ataupun membenci seseorang dengan alasan-alasan yg sangat sensitive dan perlu pengkajian yg lebih mantap. Namun demikian, bukan tugas saya pula melerai sebuah perdebatan dan pertikaian. Toh, kebenaran yg saya yakini tak perlu harus promosikan dengan paksaan2. Biarlah peperangan terjadi dengan membawa seribu tanda tanya. Bukan siapa yg mesti harus dibela, tapi kebenaran yg muncul pd kesadaran kita melalui fenomena peperangan yg mesti terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.
Adagium “suara rakyat adalah suara Tuhan” merupakan teori yg seringkali tak bisa kita pungkiri. Kalau rakyatnya beriman, sudah pasti pemimpinnya jg beriman. Tapi kalau rakyatnya brengsek, ya pemimpinnya jg pasti brengsek. Karena pemimpin adalah pantulan dari rakyatnya, dan rakyatnya adalah cermin dari pemimpinnya. Tak perlu pobhia mendengar teori ini.
achmedbaihaqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H