Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering dianggap sebagai figur yang berada dalam bayang-bayang partai politiknya, PDIP. Sebagai kader yang diusung oleh partai tersebut, banyak pihak menilai bahwa Jokowi tidak memiliki keleluasaan penuh untuk menentukan kebijakan dan arah kepemimpinannya sendiri. Setiap langkah politik dan kebijakan strategis yang diambilnya dianggap harus sejalan dengan keinginan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Dalam pandangan ini, Jokowi sering dipersepsikan sebagai "boneka" partai, yang tidak dapat bergerak secara independen tanpa restu dari partai yang menaunginya. Hal ini menciptakan kesan bahwa keputusan yang dibuatnya, bahkan yang seharusnya bersifat nasional dan netral, lebih sering mencerminkan kepentingan partai dibandingkan dengan aspirasi rakyat.
Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa Jokowi sebenarnya memiliki kinerja yang cukup baik selama masa pemerintahannya. Program-program seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran, elektrifikasi desa-desa terpencil, dan peningkatan konektivitas antardaerah adalah bukti nyata dari keberhasilannya. Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang bekerja keras dan konsisten dalam menjalankan tugasnya, tanpa mencoreng nama baiknya melalui skandal atau perilaku negatif yang bisa merusak citranya secara pribadi. Namun, ironisnya, hal ini sering kali tidak diakui oleh sebagian besar masyarakat. Jokowi kerap dihina dan dicaci maki oleh netizen Indonesia, bukan karena kinerjanya, melainkan karena asosiasinya dengan PDIP. Reputasi buruk partai tersebut, yang sering dikaitkan dengan berbagai kasus korupsi dan gaya kepemimpinan Ketua Umum yang dianggap otoriter, secara tidak langsung membebani citra Jokowi sebagai presiden.
Struktur internal PDIP yang sangat sentralistik membuat Ketua Umum memiliki otoritas penuh dalam menentukan arah partai dan kader-kadernya. Kondisi ini menempatkan Jokowi dalam posisi sulit. Sebagai presiden, ia memiliki tanggung jawab besar untuk memenuhi mandat rakyat, namun sebagai kader PDIP, ia juga diharapkan untuk loyal kepada partainya. Ketaatan kepada partai ini diduga memengaruhi beberapa kebijakan penting selama masa pemerintahannya. Misalnya, penunjukan beberapa menteri dalam kabinet Jokowi yang dinilai lebih didasarkan pada rekomendasi partai daripada pada kemampuan atau kualifikasi individu. Selain itu, menjelang Pemilu 2024, tekanan terhadap Jokowi untuk mendukung kandidat tertentu yang dianggap menguntungkan PDIP semakin menjadi sorotan.
Situasi ini menciptakan dilema besar bagi Jokowi. Jika ia terlalu tunduk pada keinginan partai, kredibilitasnya sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat akan dipertanyakan. Sebaliknya, jika ia mencoba bersikap independen dan menolak arahan partai, ia berisiko kehilangan dukungan politik, termasuk potensi ancaman dipecat dari PDIP. Hal ini menunjukkan bagaimana dominasi partai politik, khususnya PDIP, dalam sistem demokrasi di Indonesia dapat menghambat independensi seorang presiden.
Pada akhirnya, meski Jokowi telah berupaya sebaik mungkin dalam menjalankan tugasnya, beban yang berasal dari asosiasinya dengan PDIP terus membayangi kepemimpinannya. Kritik terhadap Jokowi sering kali tidak terfokus pada kinerjanya, melainkan pada citra buruk partai yang menaunginya. Situasi ini menunjukkan perlunya reformasi dalam hubungan antara partai politik dan kepala negara, agar seorang presiden dapat menjalankan tugasnya tanpa intervensi berlebihan dari kepentingan partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H