Lihat ke Halaman Asli

Kiai Tersetrum Listrik

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya bukan anak desa. Lahir dan besar di kota –katanya—terbesar kedua di Indonesia, bagaimana saya bisa dikatakan orang desa? Tapi, bagian yang saya syukuri adalah, kedua orangtua saya rajin pulang ke desa. Kekerabatan kami dengan keluarga besar dan kawan-kawan di desa tetap terjalin. Karena sering pulang itu pula saya menjadi tahu beberapa hal: tidak semua desa berdekatan atau terletak di lereng gunung. Tidak semua desa dialiri sungai dengan arus cukup deras, membuih di bagian-bagian yang terhalang batu-batu besar. Tidak semua desa berhawa sejuk. Tidak semua desa penuh dengan pepohonan dan kicau burung.

Dibiasakan pulang sejak kecil, saya pun akhirnya jatuh cinta kepada desa. Hingga kini pun saya rajin pulang meski kedua orangtua telah tiada. Dan, di desa saya memang banyak yang bisa diceritakan.

Saya akan awali cerita saya dari listrik. Awal yang janggal, bukan?

Hingga saya di awal masa SD, desa kami dipenuhi rumah-rumah bertiang bambu dan beratap rumbia. Gulita kala malam. “Keterangan” –hahaha, harap dibaca: suasana terang—di malam hari hanya tercipta di rumah-rumah warga yang punya gawe (pernikahan, misalnya) atau jelang Lebaran. Kami tidak merayakan tahun baru.

Saya lupa persinya, tapi mungkin paling lama dalam dua dekade terakhir, desa saya mulai berubah. Hasil perjuangan kawan-kawan di luar provinsi –terbanyak tentu saja Jakarta—mulai menampakkan hasil. Rumah-rumah kini berdinding beton, berubin warna-warna, modelnya Spanyolan. Dan... sudah ada listrik!

Saya ingat betul soal listrik ini. Maklum, saya ikut urunan bersama saudara-saudara yang lain agar rumah kami di desa teraliri listrik. Biayanya besar sekali. Pokoknya, cukup membuat saya tercengang. Pulang ke desa, waktu itu, saya terperangah. Bukan karena rumah saya tiba-tiba saja terang benderang seperti Eiffel di waktu malam, tapi karena di sana tak terpasang meteran listrik. Lho? Bagaimana mengetahui berapa listrik yang kami habiskan dan berapa kami harus membayar?

Kata kakak saya, meterannya jadi satu dengan rumah sebelah. Dan, seluruh desa ini satu meteran dipakai untuk dua rumah! Ada yang satu meteran dipakai untuk lebih dari 5 rumah! Padahal, masing-masing rumah itu membayar biaya pemasangan penuh, bukan urunan dibagi dua apalagi dibagi lima.

Saya ingin bertanya, kakak saya melarangnya. Bertanya berarti tak percaya. Takut ada yang tersinggung, katanya. Takut ada yang terganggu. Ah, saya kadang lupa bahwa harmoni begitu dijaga di desa ini.

Beranjak bulan, berganti tahun, tibalah malapetaka itu. Setelah sekian tahun, akhirnya PLN tahu juga bahwa ada satu desa yang teraliri listrik namun pembayarannya selama ini sangat kecil. Desa saya. PLN yang tiba-tiba sadar itu pun menjadi tiba-tiba super tegas. Puluhan, mungkin lebih dari seratus rumah diputus aliran listriknya. Dan inilah bagian yang paling menarik: warga yang rumahnya tiba-tiba gelap, yang tak lagi bisa menyaksikan sinetron kesayangan atau menyetel tape keras-keras, berbondong-bondong bertanya ke Kiai A. Memangnya listrik bagian dari kitab fiqih?

Ternyata, Kiai A adalah orang yang mengurus pemasangan listrik mereka. Kepada Kiai A pula mereka membayar biaya listrik bulanan. Kawan pasti paham kan bahwa pembayaran itu tak sampai ke PLN? Harusnya Kiai A berakhir di penjara. Tapi klimaks itu tak terjadi. Lagi-lagi soal harmoni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline