Lihat ke Halaman Asli

Tembok Ratapan Meratap Lagi

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seri puisi berikut saya buat tahun 1999-2000. Nyaris tiap tahun, Israel membuat saya harus membuat puisi serupa. Bertahun saya tak membuatnya dengan harapan memang saya tak perlu menulisnya lagi. Saya sungguh berharap tak ada lagi kekejian yang harus saya dokumentasikan dalam bentuk puisi. Tapi tahun ini, ritual kekejian itu belum juga berhenti. saya tak ingin menulis puisi lagi. Tentang ini. Inilah puisi saya di kurun sekitar 15 tahun silam:

Tembok Ratapan Meratap Lagi

Tembok ratapan meratap lagi
debu-debunya menutup mata
sejarah mual melihat darah

Tembok ratapan meratap lagi
air matanya menguap
dipanasi desing peluru
yang ditembakkan anak-anaknya
ke rumpun bambu
yang belum lagi tumbuh

Tembok ratapan terus meratap
ia ingin lari, menghilang ke balik bumi
lalu di antara isak dan ginggingnya
terdengar ia berkeluh lemah
"bumi, mana gempamu?
langit, mana topanmu
hari, mana kiamatmu?
anak-anak itu nakal sekali!" (2000)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline