Di sebuah komplek perumahan di Kota Medan, seorang ibu paruh baya menyiram sayur yang nongol dari tong cat bekas yang disusun secara vertikal. Di tengah tong cat bekas ada paralon dimana ibu ini memasukkan sampah dapur ke dalamnya. Setelah menyiram dia menggunting sayuran yang siap dipanen. Ada dua instalasi wadah tumbuh sayuran yang disusun vertikal yang berisi tiga jenis sayuran yaitu bayam merah, kangkung dan selada.
Tiap dua pekan sekali ibu itu memanen sayurannya yang ditanam dengan pola vertikal yang terkenal dengan istilah vertikultur atau pertanian vertikal. Setidaknya ibu ini bisa menikmati hasil panennya dari hasil budidaya dengan memanfaatkan barang bekas dan sampah dapur serta tidak menggunakan bahan kimia.
Permintaan akan pangan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Ketersediaan pangan dari lokasi dekat penduduk menghadapi tantangan masa kini, khususnya di perkotaan. Lahan untuk pertanian konvensional mulai berkurang dengan berkembangnya sebuah kota.
Menyusutnya luas lahan menyebabkan semangat bertani juga berkurang. Maka muncul inovasi pertanian perkotaan untuk menjawab permasalahan meningkatnya permintaan penduduk dan pangan di lahan yang makin sempit. Salah satu pola pertanian yang sesuai dengan kondisi lahan sempit, produktifitas yang lebih dan ramah lingkungan adalah pertanian vertikal atau vertikultur.
Logika vertikultur sederhana yaitu menghasilkan lebih banyak pangan di lahan yang lebih sedikit. Alasan yang sama yang kita gunakan untuk membangun rumah dan kantor di lahan yang terbatas dan mahal.
Para penggiat vertikultur mengklaim bahwa hal ini akan menciptakan ekosistem yang kompak dan mandiri yang mencakup berbagai fungsi, mulai dari produksi pangan hingga pengelolaan limbah.
Vertikultur dapat memungkinkan produksi pangan secara efisien dan berkelanjutan, menghemat air dan energi, meningkatkan perekonomian, mengurangi polusi, menyediakan lapangan kerja baru, memulihkan ekosistem, dan menyediakan akses terhadap pangan sehat. Dalam lingkungan yang terkendali, tanaman tidak akan terlalu terpengaruh oleh perubahan iklim, serangan hama, siklus nutrisi, rotasi tanaman, polusi limpasan air, pestisida, dan debu.
Selain itu, pertanian terkontrol memberikan sistem berdampak rendah yang secara signifikan dapat mengurangi biaya perjalanan, serta mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dengan mengurangi jarak perjalanan antara lokasi budidaya yang jauh dan pasar lokal.
Selain itu, vertikultur juga dapat menggerakkan perekonomian lokal dengan menyediakan pekerjaan "pekerja ramah lingkungan" yang sangat dibutuhkan di wilayah perkotaan (Selengkapnya bisa dibaca pada artikel Vertical farming increases lettuce yield per unit area compared to conventional horizontal hydroponics)
Contoh kasus adalah Kota Medan dengan lahan pertanian yang sempit. Medan mengalokasikan lahan 121 ha untuk pertanian tanaman pangan pada rencana tata ruangnya. Kota Medan masih memiliki areal potensial untuk pengembangan vertikultur yang tersebar di semua kecamatan.