Sertaulina Br Ginting, nenek 72 tahun ini begitu bersemangat. Beliau bersama dan ibu-ibu lain sangat antusias mengucapkan kata-kata mengandung efek terapi ini. Sambil mengetuk titik-titik tertentu di bagian badan sesuai arahan Bu Popie, seorang relawan psikososial dari RELAWAN INDONESIA untuk Kemanusiaan (RELINDO) Sumatera Utara, Nenek Sertaulina bersama belasan ibu-ibu lain yang tinggal di kaki Gunung Sinabung ini menikmati sekali kegiatan ini.
Di halaman masjid Muslimun, masjid satu-satunya di Desa Ndesakti Nama Teran Kabupaten Karo, nampak Dela, Juju dan Irda, mahasiswa yang jadi relawan kemanusiaan bersama RELINDO, tenggelam dalam keceriaan bersama puluhan anak-anak Desa Ndesakti. Mereka memandu permainan dalam kegiatan outbound.
Beberapa permainan berupa memindahkan bola dengan sedotan dan memindahkan karet gelang secara tim membuat anak-anak sangat bersemangat. Apalagi usai permainan, anak-anak mendapat hadiah makanan, suasana riang gembira memecahkan suasana desa yang sejuk ini.
Azan Ashar berkumandang. Saatnya shalat Ashar kami tunaikan. Usai shalat beberapa ibu-ibu kembali ke Masjid Muslimun. Mereka bukan untuk belajar teknik terapi lagi. Kali ini mereka datang dengan membawa sayur-sayuran dan buah-buahan. Mereka memberikan "buah tangan" buat kami, para relawan. Kali ini buah tangan kami adalah buah beneran. Jeruk Karo yang demikian lezat rasanya dan beberapa kantong kentang, buncis, labu dan sayuran lain dalam waktu sekejam bertumpuk di depan kami.
Sebelum kami pulang, kami berencana mampir ke rumah Nenek Iting Gaul atau Nenek Sertaulina. Orang kampung menyebutnya Iting Gaul karena beliau selalu nampak ceria dan tertawa. Suaranya lantang ketika berbicara mewakili semangat hidup yang dimilikinya.
"Sehari, Nenek ini tertawa 70 kali." Celetuk seorang ibu Desa Ndeskati saat saya menanyakan kenapa Nenek masih nampak sehat.
"Tapi Dik, bolehlah saya cerita. Meski sering tertawa begini, aku punya masalah hidup yang berat. Rumahku atapnya bolong sana-sini, cuma ditutup terpal. Kalau hujan, banyak air masuk ke dalam rumah."
Suasana menjadi hening. Ibu-ibu lain membenarkan cerita nenek yang mulai berkurang keceriaannya saat bercerita kondisi hidupnya saat ini.
"Baik, Nek. Kami mampir ke rumah nenek ya. Mana tahu kami bisa bantu."
Tibalah kami di depan rumah Nenek Sertaulina. Sebuah rumah berdinding kayu yang sudah lusuh catnya hanya beratap terpal berwarna biru. Nenek Sertaulina memanggil saya untuk masuk ke dalam rumahnya.
Beliau hidup sebatangkara. Rumah beliau beratap terpal dengan langit-langit jebol sana-sini. Saat hujan, air masuk di berbagai sisi. Belum lagi dinding rumah yang terbuat dari kayu terlihat sudah rapuh. Dulunya atap rumah nenek ini terbuat dari seng, tapi karena efek debu vulkanik yang berakibat hujan asam membuat atap seng cepat rusak.
Toilet pun tak kami temukan di rumah ini. Nenek yang berjalan memakai tongkat ini harus ke sungai bila ingin berurusan terkait mandi, cuci dan toilet. Memang prihatin melihat kehidupan nenek Sertaulina ini.
Nenek Sertauluna hidup sendirian ditinggal suami yang telah wafat 10 tahun lalu. Adapun anaknya yang berjumlah lima orang semuanya merantau dan jarang menegok beliau.
Saya mengambil dokumentasi secukupnya dengan niat ingin membantu merehab rumah nenek tangguh ini. Semoga saya bisa menuntaskan niat membantu nenek Sertaulina ini.