"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmatnya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Surat Yunus: 57-58)
Umrah. Siapapun yang pernah melaksanakan atau mendengar kajian tentang ibadah ini tentu sudah paham bahwa ini adalah ibadah yang membutuhkan kesiapan fisik, harta, jiwa dan tentu saja keimananan. Umrah banyak dikenal dengan istilah Haji Kecil, karena dalam rangkaian pelaksanaannya sudah mencakup sebagian pelaksanaan Ibadah Haji.
Dalam Umrah, tak cukup hanya memiliki harta, fisik yang prima dan kesiapan mental, tapi yang terpenting adalah panggilan iman. Panggilan iman memenuhi panggilan Allah ke Baitullah dan berziarah makam dan Masjid Nabi Muhammad SAW. Panggilan iman yang menyambut panggilan Allah inilah kunci sukses bisa menikmati semua layanan sebagai Tamu Allah di tanah suci, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah.
Bagi saya, semua kenikmatan yang dirasasakan dalam seluruh agenda umrah dan ziarah Nabi SAW adalah berasal dari kegembiraan. Kegembiraan inilah yang membuat semua kemustahilan, kesulitan, keletihan, kepayahan, kelemahan bahkan kesakitan bisa dikalahkan. Energi kegembiraan ini muncul karena kita bergembira karena Allah.
Saya menjalani agenda perjalanan umrah dan ziarah Nabi selama Sembilan hari (27 Januari -- 4 Februari 2018) di mulai dari Kota Madinah. Saat itu Kota Madinah menyediakan udara sangat sejuk hingga 13oC pada pagi hari dan 18 oC pada siang hari.
Kondisi ini adalah tantangan pertama khususnya bagi jamaah dari Indonesia yang hidup di iklim tropis dimana rentang suhu sepanjang tahun antara 24 -- 30 oC. Dinginnya cuaca membuat jamaah mulai harus beradaptasi dengan udara dingin. Jaket yang tebal, penutup kepala, sarung tangan dan kaos kaki tebal umumnya dipakai dengan lengkap oleh jamaah dari Indonesia, namun tidak untuk saya. Mengapa?
"Bapak dan Ibu, debu dan udara di Madinah ini adalah obat."
Demikian salah satu kata yang sangat saya ingat saat seorang ustadz yang menjadi Muthawwif (pemandu umrah dari travel) memotivasi kami saat kami baru menginjakkan kaki di Bandara Madinah.
Saya pegang dan amalkan petuah ustadz tersebut. Saya tidak memakai masker seperti kebanyakan orang Indonesia di Madinah. Saya juga tidak memakai jaket, sarung tangan, penutup telinga dan leher. Cukup dengan memakai jubah untuk shalat, saya merasakan udara di Madinah sangat nyaman.
Saya bebas menghirup segarnya udara Kota Nabi ini. Keyakinan saya bahwa udara di Kota Madinah adalah obat, bukan membuat sakit, terbukti. Selama di Madinah saya tidak merasakan flu, pusing dan demam. Bahkan saya bisa berkeringat dan kondisi badan saya sangat fit. Satu hal yang saya yakini, semua itu karena hati saya begitu bergembira. Ya, bergembira karena Allah. Dengan perasaan gembira, saya menikmati udara yang secara logika dingin, terasa hangat dan menyegarkan.