[caption caption="Kabut asap di Sampit (sumber kompas.com 26/10/2015)"][/caption]
"Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut asap yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih." (QS Ad-Dukhon: 10-11).
Aku sang Asap. Orang melayu mengatakan aku jerebu. Bahasa Inggris menyamakan aku dengan istilah Haze.
Setiap tahun namaku disebut. Diimana-mana berita tentang diriku dimuat dan ditayangkan. Semua media memberitakan diriku yang menyebar ke penjuru duniai tanpa batas wilayah. Di sumatera aku terus diproduksi sekaligus disalahkan. Di Kalimantan banyak pejabat berkunjung melihat pekatnya diriku. Di Jakarta aku dibahas, diseminarkan, didiskusikan dalam grup pakar oleh pejabat dan ilmuwan. Di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat aku dijadikan amunisi menekan pemerintah dan perusahaan. Di jalanan aku digemakan oleh warga yang menggalang aksi peduli dan donasi.
Lihat, mereka tak juga bisa menghentikanku. Ada sebagian orang yang menginginkanku terus dipelihara. Tak tahukah kalian, bahwa semakin aku memekat, mengaburkan padangangan dan mengkabut, aku makin menghasilkan uang. Miliaran bahkan triliunan uang akan mengalir ke kantong pihak tertentu yang memang menginginkan aku selalu ada.
Biaya memadamkanku sangat besar dbandingkan memcegah. Uang yang banyak akan mengalir saat aku bisa menutup banyak bandara. Aku semakin dipelihara oleh orang ‘jahat’ bila aku mampu meliburkan sekolah-sekolah. Anggaran semakin gendut saat banyak orang terkena ISPA. Aku seolah dijadikan mesin pembunuh perlahan-lahan oleh para durjana.
Aku terbang sambil mendengar dan melihat ulah manusia. Aku mendegar bahwa semakin banyak kebakaran, mereka akan menangguk banyak uang. Program di tempat mereka bekerja akan mendatangkan banyak dana bila kebakaran makin marak. Sebaliknya bila tak ada kebakaran mereka akan banyak menganggur karena dana tidak akan cair. Jangan heran bila mereka akhirnya membakar lahan sendiri lalu dipadamkan sendiri. Semakin kutahu bahwa manusia lah yang mempermainkanku ketika lahan-lahan terbakar segera ditanam kelapa sawit. Habis asap terbitlah sawit. Hutan terbakar habis tapi sawit semakin bermunculan disana-sini.
"Tak beradab sekali ini oknum abdi Negara ini," teriak sang Asap.
Kudengar sayup dari petugas pemadam perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. Mereka membayar orang-orang kampung untuk menyulut api di luar areal sampai menjalar ke dalam kawasan hutan perusahaan. Dengan begitu, divisi kebakaran akan mendapat anggaran berlimpah untuk melakukan kegiatan. Ada uang tambahan yang menggiurkan dari menyalanya api dan hangusnya tanaman di lahan konsesi mereka. Ya, sedikit pencitraan, mereka mengirim helikopter dan regu pemadam untuk membantu memadamkan api di areal yang banyak diliput media. Habis lahan terbakar, mereka pun mungkin bisa mendapat asuransi dari tanaman yang terbakar.
"Sungguh tega sekali oknum ini" suara keras Sang asap menggeram marah.
Aku juga tak henti-hetinya dijadikan obyek kesalahan ketika bandara menunda keberangkatan pesawat-pesawatnya. Aku disalahkan ketika ratusan ribu orang terkena penyakit ISPA. Aku dikambinghitamkan saat pengusaha banyak mengalami kerugiaan akibat terhentinya aktivitas usaha. Aku dituding sebagai penyebab meningkatkya gas rumah kaca di Indonesia sehingga banyak Negara mendikte negeriku dengan program yang aneh-aneh.