[caption caption="Air Mancur di Kota Bogor sebagai Ruang Publik Kota yang sangat diminati warga (foto merdeka.com 10/7/2015)"][/caption]
Suatu malam, saya melintas di daerah Pancasan Kota Bogor, melihat anak-anak usia sekolah menengah pertama bermain bola di tengah jalan. Bayangkan, jalan raya selebar 4 m, “dikuasai” anak-anak hanya untuk bermain bola. Bagusnya, anak-anak itu hanya bermain separuh jalan dan berhenti ketika ada kendaraan lewat.
Sama halnya dengan di Kota Bogor, di komplek perumahan saya tinggal di Ciampea Kabupaten Bogor, setiap hari anak-anak usia sekolah dasar bermain bola di jalan utama komplek. Mereka sangat menikmati “lapangan bola gratis” beraspal selebar 4 m. Anak-aak itu bebas berlarian saat kendaraan tidak ada yang melintas. Anak-anak yang haus bermain bola itu, berhenti otomatis saat kendaraan semakin mendekat ke arah mereka.
Di Purwokerto, saya menjumpai alun-alun kota dengan rumput halus bak lapangan golf penuh dengan warga. Warga Kota Purwokerto memenuhi alun-alun kota yang dikelilingi bangunan Masjid Raya dan Pendopo Kabupaten yang merupakan lansekap khas pusat kota di Pulau Jawa. Warga melakukan aktivitas beragam mulai dari bermain laying-layang, melempar baling-baling lampu, bermain bola, ngobrol atau hanya duduk sambal makan-makan. Ada juga komunitas penggemar Yoyo (permainan tradisional dari kayu yang diputar dengan benang) yang unjuk kemahirannya di alun-alun Kota Purwokerto. Tak ketinggalan juga para penjaja barang mainan dan makanan menangguk untung yang lumayan dari melubernya warga di ruang public di pusat kota Purwokerto ini.
Tiga kondisi tadi mewakili kondisi warga menggunakan ruang publik. Dua peristiwa mewakili minimnya akses ruang ;ublik untuk bermain sedangkan satu peristiwa menggambarkan fungsi sosial yang sangat besar sebuah ruang publik. Bermain adalah hak asasi bagi warga usia anak-anak. Bermain membutuhkan ruang yang proporsional yang salah satunya berupa ruang publik. Kebutuhan bermain dan berekreasi faktanya tidak bisa dinikmati merata di Indonesia karena perbedaan ketersediaan ruang publik.
[caption caption="Alun-alun Purwokerto (sumber cakpoer.com)"]
[/caption]
Melihat kenyataan sangat terbatasnya ruang publik (public space) tempat bermain dan berekreasi, sungguh sangat meprihatinkan penulis. Ruang publik sebagai sarana mempersatukan warga dalam status yang sama masih merupakan mimpi. Yang terlihat, justru ruang publik yang ada tidak terawat dan fasilitas yang dibangun banyak yang rusak oleh warga kota sendiri. Maka slogan ”Di ruang publik kita menemukan kesetaraan tanpa batas”. yang dilontarkan oleh Mantan Wakil Walikota Bogota Kolombia, Enrique Penalosa, jauh panggang dari api . Kenyataan memperlihatkan miskin atau kaya, pejabat atau rakyat jelata, profesor atau tukang becak, di ruang publik semua menjadi sama tidak bisa bersatu. Perbedaan kaya-miskin, sangat kasat mata saat masyarakat sedang menghabiskan waktu senggangnya. Si kaya bisa bersenang-senang di vila megah, lapangan golf bertarif mahal, kolam renang mewah dan sarapan pagi di restoran mewah. Sebaliknya si miskin hanya bisa main bola di jalanan beraspal, menonton tv atau menikmati aktivitas masyarakat di pinggir jalan atau di warung pengap. Untuk itu perlu adanya entitas masyarakat yang bisa menjembati gap sosial sehingga dengan ruang public yang terbatas ini, interaksi sosial masih bisa berjalan dan semakin meningkat kualitasnya. Entitas yang berpotensi itu saat ini bernama komunitas.
Pengertian Ruang Publik
Menurut James Siahaan dalam artielnya berjudul “ RUANG PUBLIK : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN “ ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Lebih lanjut Siaahaan menuturkan bahwa ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna memiliki arti kalau ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial.
Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik.