Lihat ke Halaman Asli

Achmad Siddik Thoha

TERVERIFIKASI

Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Pohon Mangga dan Generasi Berpengaruh

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Negeri ini sebenarnya masih memiliki “bibit-bibit unggul” yang akan menghiasi bumi ini dengan “buah” karya yang menawan dan merubah kegersangan menjadi hijau berseri.

Kuperhatikan tiga pohon mangga di halaman depan rumahku. Tidak banyak berubah. Tingginya masih tidak beranjak dari ukuran sekitar semeter. Daun baru satu dua saja yang tumbuh. Cabang-cabangnya belum menumbuhkan calon ranting baru. Apalagi buah, pohon-pohon itu mungkin malu memunculkan buah karena tampilan fisik yang tidak meyakinkan.

Wajar saja pohon-pohon manggaku tidak terlalu menggembirakan pertumbuhannya. Mereka poho-pohon mangga itu tumbuh di lahan bekas buangan puing bangunan. Di lahan itu selalu ramai anak-anak bermain bola. Belum lagi banyak orang membuang lumpur dari selokan ke lahan itu. Sungguh lingkungan yang berat dan ke ras buat pohon-pohon manggaku.. Bahkan tak jarang, anak-anak sering merusak tanamanku saat mereka bermain. Tidak sedikit yang menganggapku sia-sia saja menanam pohon di halaman yang tanahnya berbatu dan keras

Pohon-pohon mangga ini kuberi teman hidup di halaman. Bibit pohon jambu dan rambutan kutanam disela-sela jarak mangga yang agak jarang. Jadilah lahan rumahku agak rapat dengan bibit pohon. Ini membuat halaman rumahku yang tak berpagar nampak ramai dan rapat dengan tanaman. Kuhias pula lahan dipinggir selokan dengan tanaman kecil yang cepat tumbuh. Juga di samping rumahku, kubuat tanah-tanah terbungkus plastic untuk menaruh sisa biji-bijian buah yang kumakan.

Dalam waktu singkat halaman rumahku semarak dengan bibit pohon dan bunga-bungaan. Anak-anak tetangga yang biasanya ribut bermain bola, kini tak lagi bermain di halaman yang rapat dengan tanaman terawat. Setiap hari tanaman di halaman rumahku kusiram. Sebulan sekali, kutabur kompos dan pupuk lainnya. Anak-anakku dan istriku juga senang dan rajin merawat tanaman itu. Setiap berangkat kerja kusapa mereka:

“Semoga kamu semakin bertumbuh dan berbuah nanti.” Bisikku sambil melihat satu persatu tanamanku.

Sebulan kemudian kulihat ada kupu-kupu datang. Kupu-kupu itu hinggap di bunga-bunga mangga dan bermain-main di tanaman bunga di bawah jendela kamarku. Terkadang kulihat juga burung hinggap di ranting-ranting mangga yang sudah mulai agak cepat tumbuhnya.

Pohon-pohon mangga itu sudah melewati masa-masa bertahan hidup. Enam bulan kemudian perkembangannya demikian pesat. Buah-buah mungil sudah terbentuk dari bunga-bunga yang tumbuh sebulan sebelumnya. Bermunculan dari tunas-tunas daun bermunculan dari pucuk-pucuk tiap rantingnya. Ranting-ranting baru mulai menjulang dan tumbuh melebarkan diri. Ada satu pohon yang sudah melebihi tinggiku.

Apa yang tadinya kukhawatirkan tentang lingkungan yang keras dan tidak kondusif yang bisa mematikan pohon-pohon manggaku sirna sudah. Ketangguhan pohon-pohon mangga bertahan dalam lingkungan yang keras membuat mereka kini sangat menawan orang-orang yang melihatnya. Setiap oang-orang yang lewat selalu menengok ke pohon-pohon mangga di halaman rumahku. Mangga, yang memang berasal dari bibit unggul itu yang sudah berumur setahun lebih, kini berbuah lebat. Bergantian burung-burung dan kupu-kupu hinggap setiap pagi di depan rumahku. Pemandangan halaman rumahku kini hijau dan segar.

Aku kemudian seolah menemukan perumpaan pohon-pohon manggaku dengan komunitas-komunitas yang tangguh meski harus tumbuh di lingkungan keras dan bahkan buruk. Beberapa orang atau komunitas harus bertahan hidup di lingkungan penuh dengki, fitnah dan kekejian. Namun orang-orang tangguh itu bisa bertahan dan bahkan kini menawan banyak orang karena berhasil memimpin orang-orang yang mencacinya dulu.

Orang-orang tangguh itu dulu sempat dicap ekstrimis karena telalu “kaku” bergaul dikarenakan memegang prinsip yang mengakar kuat dari keimannnya. Dulu mereka dicibir tidak kompeten mengurusi urusan orang banyak karena hanya berkutat di tempat suci. Mereka dulunya dianggap takkan mampu bertahan karena jumlahnya yang sedikit dan lambatnya perkembangan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline