Lihat ke Halaman Asli

Achmad Siddik Thoha

TERVERIFIKASI

Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Mutiara Kehidupan di Reruntuhan Gempa Jogja

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331680881956060834

[caption id="attachment_168481" align="aligncenter" width="520" caption="Bermain bersama anak-anak pengungsi Gempa Jogja 2006 (dok. Bayu Gawtama-ACT)"][/caption] Bantul, 27 Mei 2006, pukul 06.00, bumi tiba-tiba menyentak mengangkat permukaan bumi keatas. Selang beberapa detik guncangan semakin kencang laksana mengaduk-aduk permukaan bumi. Terlihatlah...ribuan rumah hancur, ribuan mayat tertimbun rentuhan, puluhan ribu orang mengungsi. Anak-anak dan orang tua adalah korban terbanyak. Ternyata tak hanya Bantul, gempa juga meluluhlantakkan Jogja, Gunung Kidul, Sleman dan Klaten. Di Pleret, lokasi terparah gempa Jogja dan Jateng, anak-anak tersebar dibeberapa posko pengungsian. Menyedihkan, sebagian mereka harus terpaksa atau dipaksa untuk meminta sedekah di jalan-jalan raya. Mereka dengan berani menghentikan kendaraan siapa saja untuk memperoleh sumbangan. Padahal sebelumnya mereka adalah anak pemalu, sopan dan "nrimo". Mereka juga masih trauma karena gempa terus terjadi selama dua minggu pasca gempa dengan skala lebih kecil. Ihsan, seorang anak pengungsi asal Pleret yang tegar. Ketika kutanya apa yang terjadi ketika gempa menguncang rumahnya. "Aku tidak bisa lagi lari. Atap sudah mulai runtuh. Aku merapat ke dinding di dekat lemari besar. Sementara adik aku masih kecil dan terkubur. Ibu dan Bapak aku sedang di luar rumah." Tutur Ihsan tanpa gemetar. Luar biasa, sebuah ungkapan yang memancarkan keikhlasan dan ketegaran hati seorang anak. Bentuk ketegaran hati Ihsan terlihat pula saat sholat. Dialah anak yang paling depan menempati shaf sholat berjamaah dibanding anak-anak lain. Saat banyak orang asyik menonton idola di layar kaca, anak-anak pengungsi Gempa Jogja berjuang menahan dinginnya malam di tenda pengungsian. Di sela-sela kegembiraan Piala Dunia 2006 banyak orang hampir melupakan nasib para korban bencana karena mereka masih kekurangan makanan, pakaian, obat-obatan. Aku menyaksikan di posko pengungsian seorang dokter mengobati seorang anak yang baru saja keracunan karena salah minum. Dia telah minum minyak tanah karena saking hausnya dan disangka air putih. Duh…pilu hati ini. Sementara masih banyak berharga yang masih tertimbun di reruntuhan bangunan sementara aku dan relawan lain tak berdaya karena minimnya peralatan. Aku hanya bisa membantu mengangkat barang-barang kecil yang masih bisa dipakai para korban bencana untuk bisa dimanfaatkan. “Nak, ini makan dulu” mie instan panas mendekat padaku. “Tidak usah Bu, buat ibu saja.” ”Makanlah, Nak, kamu pasti lelah dan lapar.” Aku tak kuasa menolak. Sungguh luar biasa para korban bencana gempa ini. Di reruntuhan bangunan akibat gempa dahsyat ini, mereka tak kehilangan mutiara hati. Aku terharu. Sambil berkaca-kaca kulahap indomie panas pemberian Ibu yang baru kubantu mengeluarkan barang-barang di reruntuhan rumahnya. Ihsan dan anak-anak pengungsianlah yang menghibur hatiku. Hampir tiap hari Ihsan bermain bersamaku di lapangan Pleret Bantul. Kami juga bermain bola dan  fun game untuk menghibur mereka dan tentu saja sambil mengubur kejenuhan kami, para relawan. Bila banyak orang gegap gempita bersorak menyaksikan gol di Piala Dunia, kami ceria bersama anak-anak di lapangan bola Pleret Bantul. Keceriaan anak-anak korban gempa seolah mengubur kesan bahwa anak-anak pengungsi adalah pihak yang paling menderita, paling perlu dikasihani dan obyek keprihatinan yang bisa memancing datangnya proyek rehabilitasi jutaan dolar. Mereka tak mau ketinggalan keceriaan. Anak-anak korban musibah tak perlu dikasihani dengan program bermilyar-milyar rupih atau berjuta-juta dolar. Anak-anak di pengungsian tak butuh mainan canggih berharga ratusan ribu. Mereka hanya ingin bahwa keceriaan dan suasana bermain yang sebelumnya mereka dapatkan tiap hari bisa kembali lagi. Keberadaan relawan yang tulus, sabar, mau mendengar keluhan anak, mau mengajak dan diajak bermain kurasa cukup menjadi penawar bagi kekosongan masa ceria anak-anak. Terlebih lagi bila lembaga kemanusiaan menerjunkan relawan terdidik, terlatih dan peralatan bermain yang sesuai akan mempercepat kembalinya suasana keceriaan. Keceriaan anak menjadi jalan tumbuhnya semangat orangtua. Tumbuhnya semangat untuk menggapai harapan masa depan yang lebih baik adalah modal utama membangun kembali kehidupan pasca musibah akibat bencana alam dan konflik sosial. Ihsan dan anak-anak di pengungsian Pleret Bantul saat itu bisa jadi teladan bagiku. Mereka mengembalikan kepekaan hatiku yang sebelumnya keras membatu. Mereka adalah lentera hatiku yang yang sebelumnya meredup. Mereka adalah mutiara yang timbul disela-sela puing-puing masa depan dan reruntuhan harapan. Ungkapan terakhir mereka saat aku pamitan. "Kakak kapan kembali lagi kesini?" **** Kenangan menjadi relawan Gempa Jogja 2006 bersama Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline