Pangandaran, 17 Juli 2006, sore hari, air laut susut di Pantai pangandaran. Beberapa orang sadar dan beberapa lainnya tak sadar bahwa sebentar lagi ombak laksana bukit hitam akan menghantam mereka. Dua puluh menit kemudian, ombak hitam setinggi tujuh meter menghempas pantai dan menerjang terus hingga 1 km dari pesisisr Pangandaran. Semua menyelamatkan diri, naik ke atas pohon kelapa, naik genting, lari ke gunung dan beberapa orang terombang-ambing ombak hingga akhirnya selamat. Kemudian terlihat dan terdengarlah...ratusan mayat tergeletak, ribuan rumah hancur, dan ribuan pula warga mengungsi. Ternyata gempa dan tsunami melanda pula Cilacap, Tasik, Garut dan Kebumen. [caption id="attachment_168277" align="aligncenter" width="448" caption="Kejadian Tsunami Pangandaran yang digambarkan oleh anak-anak pengungsi (dok. pribadi)"][/caption] Beberapa saat kemudian suasana mencekam. Orang tua mencari anak-anaknya, anak-anak kehilangan jejak orangtuanya, semuanya histeris. Hampir semua orang tak berani mendekat pantai. Hampir semua mengungsi meskipun rumahnya tidak hancur oleh gempa dan tsunami. Anak-anak adalah pihak yang paling menyedihkan. Sehari-hari bermain, sekolah, mengaji dan bercanda dengan orang tua, tiba-tiba harus menjalani kehidupan mencekam. [caption id="attachment_168278" align="aligncenter" width="448" caption="Anak-anak mengais sisa barang berharga di reruntuhan tsunami (dok. pribadi)"]
[/caption] Di Pangandaran, anak-anak tak berani melihat pantai. Mendengar gemuruh pantai saja mereka trauma. Namun,lambat laun mereka berani bermain dengan relawan bahkan mulai ada yang mengajak jalan-jalan ke pantai. Mereka sudah berani mengungkapkan perasaannya lewat gambar dan cerita. Keceriaan anak-anak membuat orangtua mereka lambat laun kembali bersemangat menjalani hidup. Ismaya, gadis cilik kelas 3 SDN 2 Pananjung Pangandaran bercerita dengan lincah kepadaku. [caption id="attachment_168280" align="aligncenter" width="448" caption="Anak-anak terlihat ceria meski tak memiliki rumah lagi (dok. pribadi)"]
[/caption] " Maya lari pas tsunami. Tapi adik Maya namanya Nur meninggal. Dia masuk surga kan Kak ?" Hatiku terguncang. Dengan lirih aku menjawab. "Insya Allah, nanti adik Maya akan membukakan pintu Surga buat Ibu, Bapak, Maya dan menghidangkan makanan enak buat keluarga Maya." Luar biasa apa yang Maya ungkapkan. Sebuah ungkapan penuh kejujuran dan ketabahan dari seorang anak pengungsi. Taka ada raut sedih dan takut di wajahnya. Dia telah menemukan gairah hidupnya. Hampir tiap hari Maya dan kakaknya, Supri, tak pernah absen mengajakku bermain dan berjalan-jalan di areal pengungsian Bulak Laut, Pangandaran. Keceriaan anak-anak korban gempa dan tsunami seolah mengubur kesan banyak pihak bahwa anak-anak pengungsi adalah pihak yang paling menderita, paling perlu dikasihani dan obyek keprihatinan yang bisa memancing datangnya proyek rehabilitasi jutaan dolar. Justru mereka mampu membangkitkan semangat orang tua mereka yang sempat terkubur bersama puing-puing bangunan bekas hempasan tsunami. Tsunami fisik boleh saja meluluhlantakkan harta dan orang-orang yang mereka cintai, tapi hati mereka tetap bersinar bak mutiara. [caption id="attachment_168281" align="aligncenter" width="448" caption="Relawan mendampingi anak-anak bermain untuk menghilangkan trauma (Dok. pribadi)"]
[/caption] Anak-anak korban musibah tak perlu dikasihani dengan program bermilyar-milyar rupiah atau berjuta-juta dolar. Anak-anak di pengungsian tak butuh mainan canggih berharga ratusan ribu. Mereka hanya ingin bahwa keceriaan dan suasana bermain yang sebelumnya mereka dapatkan bisa kembali lagi. Keberadaan relawan yang tulus, sabar, mau mendengar keluhan anak, mau mengajak dan diajak bermain kurasa cukup menjadi penawar bagi kekosongan masa ceria anak-anak. Terlebih lagi bila lembaga kemanusiaan menerjunkan relawan terdidik, terlatih dan peralatan bermain yang sesuai akan mempercepat kembalinya suasana keceriaan. [caption id="attachment_168283" align="aligncenter" width="448" caption="Relawan Pangandaran berolahraga bersama anak-anak pengungsi untuk mengembalikan semangat hidup (dok. pribadi)"]
[/caption] Keceriaan anak menjadi jalan tumbuhnya semangat orangtua. Tumbuhnya semangat untuk menggapai harapan masa depan yang lebih baik adalah modal utama membangun kembali kehidupan pasca musibah akibat bencana alam dan konflik sosial. Maya dan Supri dan anak-anak yang di pengungsian menjadi teladan bagiku. Mereka mengembalikan kepekaan hatiku yang sebelumnya keras membatu. Mereka adalah lentera hatiku yang yang sebelumnya meredup. Mereka adalah mutiara yang timbul disela-sela puing-puing masa depan dan reruntuhan harapan. Mereka telah memberi padaku pelajaran tentang arti tersenyum diantara gelombang tangis, makna ceria dikegaduhan keluhan dan arti semangat direruntuhan putus asa. [caption id="attachment_168284" align="aligncenter" width="448" caption="Mengajak anak-anak pengajian dan mendongeng di tenda pengungsi untuk mengembalikan semangat hidup mereka (dok. pribadi)"]
[/caption] Ucapan terakhir mereka saat kami, para relawan kemanusiaan, berpamitan dengan mereka. "Kakak kapan kembali lagi kesini?". Tak sanggup kami menahan haru dan genangan air di mata. Sosok anak-anak tangguh itu semakin menjauh. Keindahan Pangandaran tetaplah memukau. Bukan karena pantainya, namun oleh senyuman anak-anak ceria itu. Senyuman Mutiara Pangandaran. [caption id="attachment_168287" align="aligncenter" width="448" caption="Beristirawat di tenda pengungsia bersama sahabat relawan (dok. pribadi)"]
[/caption] Tengoklah senyuman mereka Memang tak sama tapi itu senyuman Senyuman bak mutiara menembus relung hati Menyapa kita, mengajak kita ikut tersenyum Mutiara itu mencairkan hati yang beku Meluluhkan kerasnya qalbu Memancarkan cahaya kebahagiaan. Mutiara itu Pintu surga yang dibukakan Untuk siapa yang menyapanya Mengajaknya bermain, Mendengar keluhannya Menemani belajar Mengajaknya mengenal Yang Maha Pencipta. Sapalah senyum mereka Acungkan jempol buat karya mereka Mutiara Pangandaran. Kenangan Menjadi Relawan Bencana Tsunami Pangandaran, Ciamis (Tim Relawan : Psikologi Unpad, Walhi Jabar, PKS Jabar dan relawan lokal Pangandaran ,Agustus, 2006)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H