Lihat ke Halaman Asli

Achmad Siddik Thoha

TERVERIFIKASI

Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Siapa yang Mengotori, Harus Membersihkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah Buang Air Besar dan Kecil, Harap Disiram!


Ungkapan di atas mungkin tidak enak dibaca. Meski tidak enak dibaca, namun sangat mudah diingat karena banyaknya ungkapan tersebut di tempat yang pasti dikunjungi manusia tiap hari. Anda pasti tahu dimana tulisan itu Anda baca. Ya, benar sekali, pastinya tulisan seperti judul diatas akan tertempel permanen di WC umum atau WC perkantoran.

Lama saya merenungkan, meski sudah ratusan kali saya bolak-balik WC Umum, baru kali ini saya bisa merenungkannya. Apa yang terjadi, sehingga tulisan tersebut haru ditulis, di tiap WC. Berapa ribu WC tulisan ini tersebar dan berapa orang yang mematuhinya?

Saya yakin, tulisan tersebut muncul karena banyaknya orang yang membuang (maaf) kotoran tapi enggan membersihkannya. Ini menjadi sebuah keanehan, bagaimana mungkin orang tidak mau membersihkan sendiri kotoran yang dibuangnya. Sudah jelas, menyiram kotoran (buang air kecil atau buang air besar) sendiri itu kewajiban, masih harus diingatkan atau dianjurkan. Kenapa yang wajib saja masih harus dianjur-anjurkan? Karena pada prakteknya, pada kewajiban sendiri saja banyak dari masyarakat tidak mau atau gagal untuk menunaikannya.

Inilah fenomena bagaimana sebagian atau banyak orang yang mau mengotori namun tidak mau membersihkan. Bahkan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya saja dia tak mau berbuat, apalagi hal yang tidak wajib. Pantas saja kita menemukan banyak kewajiban yang dilanggar atau bahkan gagal ditunaikan. Alih-alih menunaikan kewajiban, malah banyak orang mengotori amanahnya dengan pekerjaan yang ‘kotor’.

Sumpah jabatan yang menguatkan jabatan justru menghantarkan seorang abdi negara menjadi tersangka dan pesakitan. Janji politik yang sudah dilontarkan saat pemilu dengan rakyat, tidak saja gagal ditunaikan para politisi bahkan mereka mengotorinya. Kampanye memberantas korupsi yang diiklankan dan digembar-gemborkan malah gagal ditunaikan dan dinodai oleh pengusungnya sendiri. Selebriti yang getol mengkampayekan larangan mendekati narkoba malah mengotori dirinya dengan menjadi pecandu barang haram ini.

Ini juga terjadi pada para penyembah Tuhan yang menunaikan kewajiban di hari raya dengan mudah menebar Koran dan plastik di lapangan. Setelah itu mereka enggan memungut atau membersihkannya kembali. Seorang aparat pmerintah yang wajib melayani pemenuhan hak warga enggan bekerja bila tidak disiram dengan uang pelican. Mereka itulah orang-orang bisa mengotori tapi tak mau atau gagal membersihkan.

Banyak orang juga terjebak mengerjakan yang bukan kewajiban pokoknya. Jadilah pekerjaan itu minim manfaat meski energy dan biaya yang dikeluarkan demikian besar. Memperbagus toilet lebih utama daripada menghemat anggaran tunjangan pribadi. Mengimpor sarana penunjang para pejabat dibuat demikian seriusnya namun mengabaikan nasib petani yang terus tenggelam oleh bahan pangan impor. Begitu banyak program mengatasnamakan pembangunan tetapi hasilnya tidak pernah benar-benar bisa dirasakan. Bagaimana mau sukses menunaikan pekerjaan yang ‘sunnah’ wong yang ‘wajib’ saja diabaikan.

Banyak orang tahu kewajibannya namun tak mau menunaikannya. Bahkan tahu pun mereka dengan kewajibannya, tetap enggan melakukannya. Bila pun mau menunaikan kewajiban mereka melakukannya dengan asal. Tak heran bila akhirnya bau kotoran korupsi bertebaran, pemandangan perbuatan mesum terpampang luas dan persekongkolan kotor penegak hukum dengan pelaku kriminal semakin memuakkan.

Apakah budaya mengotori dan membersihkan akan semakin menipis di negeri ini? Apakah akan terputus hanya bersemangat mengotori tapi tak mau membersihkan. Harusnya kebudayan ini bersambung tetapi saat ini sering terputus begitu saja oleh sebuah kebiasaan. Yang dimaksud bersambung itu ialah: sudah barang tentu siapa yang mengotori, ia pula yang otomatis harus membersihkan. Sesedehana itu sebetulnya., tetapi soal-soal yang sudah jelas-jelas sederhana itu tak henti-hentinya menjadi persoalan rumit di negara ini.

Mengutip ungkapan budayawan Pre GS “ Hidup sungguh berisi urutan dan menjadi sederhana jika urutan itu dijalankan: mulai dari siapa saja yang mengotori harus mau membersihkan.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline