Lihat ke Halaman Asli

Achmad Siddik Thoha

TERVERIFIKASI

Pengajar dan Pegiat Sosial Kemanusiaan

Boleh Narsis Asal Berempati

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328976896729567097

[caption id="attachment_162164" align="alignleft" width="300" caption="Image by duniapsikologi.com"][/caption] Pernahkan Anda bertemu dengan seseorang pengendara mobil menyerempet sepeda motor, lalu dia berlalu tanpa ekspresi, seolah tak merasa bersalah dan malu.

Seringkah kita melihat pemain sepak bola yang men-tackle pemain lawan dengan sangat ‘sadis’ namun tak ada tanda di wajahnya dia menyesal dan malu. Malah dia merasa senang melakukannya karena toh banyak yang memujanya.

Barangkali Anda juga pernah melihat seorang terdakwa pembunuhan sadis, saat disidang berbicara tanpa ada penyesalan dan rasa malu bahkan  berteriak dengan bangga

Fenomena di atas mungkin adalah sesuatu yang ‘aneh’ karena memang melawan sisi moralitas yang seharusnya mereka miliki. Rasa kasihan, malu dan empati sudah membunuh kepedulian pelaku-pelaku kurang bermoral diatas. Mungkin pernyataan Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelegence mewakili peristiwa di atas :

"Bila rasa peduli kepada orang lain sudah mati, seseorang umumnya termasuk dalam salah satu tipe yang oleh para psikolog dijuluki "Tiga Sekawan Kelam" : Narsisis, Machiavellian dan Psikopat". Dengan kadar yang berbeda, ketiga tipe ini sama-sama memiliki pusat: berniat jahat secara sosial dan berniat menipu, egosentris dan agresi serta sikap dingin secara emosi" (hal 158). Tulisan ini akan sedikit memberi sedikit pandangan tentang Narsisis, yang lebih popular saat ini dengan istilah Narsis.

Narsis, berasal dari Mitos Yunani, Narcissus, seorang pria yang begitu tertarik oleh ketampanannya sendiri sehingga ia jatuh cinta pada citranya sendiri yang terpantulkan oleh sebuah danau. Echo, seorang wanita, juga jatuh cinta padanya, namun ia ditolak dan akhirnya patah hati, tidak mampu bersaing dengan penyanjungan diri sendiri yang dimiliki Narcissus.

Seperti ditunjukkan oleh mitos itu, banyak orang narsistik menarik orang lain karena kepercayaan diri yang mereka pancarkan bisa memberi aura karismatik. Meskipun mereka cepat untuk mematikan orang lain, orang2 narsistik yang tidak sehat (ada narsistik sehat) memandang diri mereka sendiri secara amat positif. dapat dimengerti, mereka merasa paling bahagia dalam suatu perkawinan dengan seseorang yang senantiasa menjilat. Slogan sang Narsistik mungkin "Orang lain ada untuk memujaku" (Daniel Goleman dalam Social Integence Hal. 165-166)

”Jenis narsisisme yang sehat berasal dari keyakinan anak yang dicintai bahwa ia adalah pusat dunia, bahwa kebutuhannya adalah prioritas setiap orang lain. Dalam bahasa dewasa, sikap yang sama ini menjadi matang berubah menjadi pengargaan diri positif yang memberinya kepercayaan diri yang pada tempatnya dengan tingkat bakatnya, suatu unsure esensial untuk kesuksesan. Tidak memiliki kepercayaan diri seperti itu, orang tidak jadi menggunakan karunia atau kekuatan apa pun yang mungkin mereka miliki.”

Tapi ingat, sehatnya narsis tak berarti ia keluar dari julukan Tiga Sekawan Kelam seperti ditulis di paragraph sebelumnya. Tetap saja narsis adalah “penyakit” sosial yang sedang mewabah saat ini. Namun Pak Daniel memberi arahan berikutnya. Yuk simak kutipan dibawah ini.

“Apakah seorang narsisis itu sehat atau tidak sehat bisa ditentukan berdasarkan kemampuan akan empati. Semakin timpang kemampuan seseorang untuk menimbang perasaan orang lain, semakin kurang sehatlah narsisisme mereka.”

Hmm, ternyata bila kita tidak menimbang perasaan orang lain saat tampil, berkarya dan berekspresi bisa jatuh pada kategori narsis yang tidak sehat, ya Nah ini dia apa yang dikatakan dengan narsis tidak sehat. Simak penjelasan Pak Daniel lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline