Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Membongkar dan Memaknai Ulang "Contextual Learning"

Diperbarui: 24 Desember 2024   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA 

Seorang kawan menjelaskan pengalamannya dengan berapi-api bagaimana ia membawa siswa untuk "mengalami" proses belajar di sekolah. Ia menyebut satu istilah yang membuat saya tertarik menyimak penuturannya: contextual learning. Ini istilah memang tidak asing di telinga saya atau pendengaran Anda.

Saya mengalami contextual learning jauh sebelum istilah ini ngetrend di kalangan para guru. Puluhan tahun yang lalu ketika kanak-kanak saya diperintah Bapak agar azan di mushola. "Wes to, iso-iso," kata Bapak. Sudahlah, kamu pasti bisa. Itu saat pertama kali saya belajar dan "mengalami" azan di mushola.

Pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) atau contextual learning telah lama dianggap sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam dunia pendidikan. Dengan menempatkan pengalaman nyata dan relevansi konteks sebagai pusat proses belajar, metode ini menjanjikan pembelajaran yang lebih bermakna dan aplikatif.

Namun, bagaimana jika konsep ini ditelaah melalui lensa yang berbeda untuk membongkar dan memaknai ulang asumsi yang tersembunyi di balik praktik dan teori pembelajaran berbasis pengalaman?

Membongkar Ruang Sempit "Pengalaman"

Salah satu pilar utama pembelajaran berbasis pengalaman adalah keyakinan bahwa pengalaman merupakan sumber belajar yang autentik. Tetapi, apakah pengalaman benar-benar netral dan universal? Kita menyadari bahwa pengalaman tidak pernah murni; ia selalu diwarnai oleh interpretasi subjektif, konstruksi budaya, dan "relasi kuasa" tertentu.

Misalnya, pengalaman yang dihadirkan dalam pembelajaran sering kali dipilih berdasarkan norma-norma dominan yang berlaku. Sebuah proyek pembelajaran bisa jadi mencerminkan bias-bias tertentu yang mengabaikan realitas kelompok yang terpinggirkan. Dengan demikian, kita patut bertanya: pengalaman siapa yang dianggap valid? Siapa yang memutuskan pengalaman mana yang "layak" dijadikan bagian dari proses pembelajaran?

Contextual learning menekankan pentingnya relevansi konteks dalam proses pembelajaran. Namun, muncul persoalan baru: konteks tidak pernah stabil atau tunggal; ia selalu terbuka untuk negosiasi. Sedangkan dalam praktiknya konteks sering kali dipaksakan oleh kurikulum atau kebijakan institusi pendidikan. Tersisa sedikit ruang bagi siswa untuk mendefinisikan konteks mereka sendiri.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah: konteks mana yang dianggap relevan, dan atas dasar apa ia disebut relevan? Apakah siswa memiliki keleluasaan untuk membentuk konteks pengalaman mereka sendiri, ataukah mereka sekadar menjadi konsumen dari konteks yang telah dirancang sebelumnya? Dengan memahami bahwa konteks selalu bersifat dinamis dan subyektif, pembelajaran berbasis pengalaman dapat diperluas menjadi lebih inklusif dan reflektif terhadap kebutuhan siswa yang beragam.

Autentik Menurut Siapa?

Dalam pembelajaran berbasis pengalaman, aktivitas autentik sering kali menjadi daya tarik utama. Aktivitas ini dianggap mencerminkan realitas dan memberikan pengalaman yang "sebenarnya." Namun, apa yang dimaksud dengan "autentik"? Bukankah autentitas itu sendiri adalah suatu konstruksi yang dibangun oleh elemen-elemen pengalaman? Aktivitas autentik tidak berdiri sendiri. Ia dapat atau mungkin saja mencerminkan bias-bias budaya atau justru melanggengkan hierarki tertentu---yang tidak membawa siswa tiba pada autentitas diri mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline