Angin sore mengantarkan suara adzan yang bergetar dari seberang desa, menembus kabut mendung yang dingin. Gerimis yang malu-malu membasahi daun seperti menahan diri agar tidak menjadi hujan yang melebat.
Tak urung hujan air mata mengalir juga sejak kabar duka menyentak perasaan setiap orang yang mencintainya.
Kaki-kaki yang berdiri menanti kedatangan harum wangi keranda seolah menancap di perut bumi. Kaku tak bergerak.
Sedangkan gerimis masih malu-malu menyaksikan kilatan cahaya yang turun berduyun-duyun dari langit seperti serombongan malaikat berjubah putih-putih.
Sore yang redup kini terang gemilang oleh cahaya yang memantul ke langit lantas cahaya itu menyiram angkasa, menyiram cakrawala, menyiram sanubari setiap orang yang mencintainya, menyiram tanah galian yang lebarnya sepetak badan manusia.
Adzan asar baru saja selesai ketika keranda bertabur aroma wangi bunga-bunga menyergap isi perasaan yang ingin sekali berkata-kata, mengucapkan salam perpisahan, menyampaikan sambutan kesaksian, namun begitu tercekat tenggorokan setiap orang sehingga tidak satu pun kata terucap kecuali perasaan yang bergumul-gumul menyesakkan dada.
Ruang masjid yang biasanya terasa lapang dan lengang kini dipadati orang-orang yang mencintainya sehingga setiap orang rela berdiri berhimpitan seraya mengucapkan takbir, membaca doa-doa, mengamini untaian kebaikan.
Suaranya bergema, bergemuruh, menjelma jutaan roh yang melayang-layang bagai asap putih meliuk-liuk mengelilingi keranda beraroma wangi bunga-bunga.
Siapakah manusia dalam keranda yang kehadirannya dalam kematian disambut berlaksa-laksa cahaya, dihadiri roh leluhur, diangkut doa-doa bagaikan asap putih yang menari-nari dalam satu irama tilawah yang menggetarkan sukma?
Siapakah manusia dalam keranda yang kematiannya justru mengabarkan kehidupan yang sesungguhnya, bukan kehidupan yang bergelimang kepalsuan, kelicikan, keculasan, kecurangan?