Tidak terbayangkan pentas drama "Mlungsungi" di Pengajian Padhangmbulan desa Mentoro Sumobito Jombang, pada Sabtu, 16 April 2022, dihadiri lebih dari sepuluh ribu penonton.
Ini bukan soal rekor jumlah penonton dalam pementasan teater. Parameter kuantitatif memang menggiurkan bagi sejumlah pihak yang berkepentingan. Namun, hingga memasuki tahun ke tiga puluh, pengajian yang diselenggarakan setiap malam bulan purnama itu tidak pernah terikat sponsorship mana pun.
Pementasan selama tiga jam penuh terbilang sangat panjang untuk durasi penampilan teater. Selama durasi itu pula puluhan ribu penonton tidak obah tidak umek. Pikiran fokus, hati merasakan.
Kendati dipentaskan di desa terpencil sebelah timur kota Jombang, performance drama "Mlungsungi" menandingi pementasan di gedung teater terkemuka. Semua serba prima: ya penyutradaraannya, ya musik pengiringnya, ya keaktoran para pemainnya, ya tata letak panggungnya, ya lightingnya, ya atmosfer pertunjukannya.
Peristiwa drama "Mlungsungi" merupakan good news yang menerbitkan optimisme di tengah fenomena Indonesia yang babak belur dihajar tema intoleransi, big data, tiga periode, minyak goreng dan seterusnya.
Tadarus "Mlungsungi" pada malam bulan Ramadhan itu menurut Fajar Suharno, salah satu sesepuh Reriungan Teater Yogyakarta, tidak saja peristiwa seni budaya. "Lebih dari itu. Apa yang terjadi di depan dan belakang, kiri dan kanan panggung adalah peristiwa martabat kemanusiaan," ungkapnya.
Keberhasilan pementasan teater tidak selalu menggunakan parameter text book akademik. Tidak cukup dilihat dari sisi penampilan kasat mata saja. Pesan, getaran, aura, ilmu, hikmah serta apa pun yang tidak kasat mata kalau berhasil dicerna penonton, hal itu menunjukkan sebuah pementasan berhasil memasuki sel-sel kesadaran.
Penonton tidak hanya disuguhi; mereka dibukakan jendela untuk menatap cakrawala yang lebih lapang, jernih, dan berimbang.
Dialog dan adegan dalam drama "Mlungsungi" tidak sekadar kritik bagi mereka yang berkuasa. Di hadapan penonton setiap komponen pementasan, respons audience, atmosfer pertunjukan menjadi "ayat-ayat non teks" yang dicerap oleh alam pikiran dan dirasakan oleh batin perasaan. Hasilnya adalah enlightenment, pencerahan lahir dan batin.
Pada perspektif itu Cak Nun, sebagai penulis naskah, menyatakan drama "Mlungsungi" adalah doa. Setiap kahanan dan apa pun makhluk ciptaan Tuhan mengalami dinamika substansial mlungsungi. Dalam ranah kesadaran personal setiap individu mengalami kematian dan kelahiran setiap saat. Mlungsungi adalah mati untuk hidup kembali.