Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengapa Hawa Nafsu Selalu Jadi Tersangka?

Diperbarui: 5 April 2022   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shutterstock / kompas.com

Nasehat yang sering kita dengar dari para orangtua adalah makanlah apa yang ada. Makan saja seadanya. Lalu kita mengasosiasikan nasehat itu menjadi bayangan hidup yang dirundung kemiskinan dan kekurangan.

Nasehat tersebut bahkan terdengar kuno, ketinggalan zaman, dan menyalahi kaidah kuliner. Orang tidak terbiasa makan seadanya sehingga yang dia lakukan adalah mengada-adakan atau membayang-bayangkan makanan yang tidak ada.

Padahal nasihat makan seadanya itu nasihat yang rasional. Kalau di depan kita ada nasi pecel, ya nasi pecel itu yang dimakan. Ada nasi rawon, ya nasi rawon yang dimakan. Kalau yang ada nasi putih dan telur ceplok, ya itu yang dimakan. Bagaimana kita akan makan makanan yang tidak ada di depan kita?

Persoalannya, ternyata, bukan pada makanan yang tersaji di depan kita, melainkan nafsu makan kita yang berlari lebih cepat. Rezeki makanan yang terhidang di hadapan kita menjadi tidak berarti karena tidak sesuai dengan selera nafsu makan.

Rumus: sing enak iko yo sing onok, sing onok iku yo sing enak; yang enak itu ya yang ada, yang ada itu yang enak menjadi tidak relevan lagi. Bahkan sekadar urusan makan dan minum kita tidak berpijak pada kenyataan yang ada.

Tempe di hadapan kita menjadi tidak nikmat karena kita membayangkan sate kambing. Sudah tidak merasakan nikmatnya makan tempe, sate kambing pun cuma angan-angan belaka.

Simulasi makan seadanya tidak berlaku pada urusan kuliner saja. Kita bisa mengganti tema makanan dengan tema yang lain, seperti pakaian, handphone, motor, mobil, rumah serta aksesoris materi yang melambangkan kesuksesan hidup.

Kita melihat orang lain lebih enak hidupnya, lebih sukses karirnya, lebih sejahtera rumah tangganya. Padahal kita memiliki kenikmatan hidup yang orang lain belum tentu memilikinya. Namun, karena pikiran dikendalikan oleh standar kenikmatan milik orang lain, kita pun tidak menemukan kenikmatan hidup kita.

Akibatnya hidup terasa serba kurang. Bukan kita benar-benar kekurangan, melainkan pikiran tidak berpijak pada kenyataan. Di tengah berlimpahnya kenikmatan kita dikurung oleh pikiran yang serba kekurangan.

Alih-alih menciptakan bahagia, kita justru mengurung hidup dengan kepicikan-kepicikan yang kita ciptakan sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline