Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Kebangkitan Nasional dan Bias Optimisme Kepemimpinan Populis

Diperbarui: 20 Mei 2020   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasionalisme Indonesia. Ilustrasi: KOMPAS.com/SHUTTERSTOCK

Hari Kebangkitan Nasional, kerap disingkat Harkitnas, kali pertama diperingati pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Harkitnas ke-40 itu dihitung sejak perhimpunan kebangsaan yang pertama didirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.

Pada 1947 situasi politik dan ekonomi Indonesia mengalami tekanan. Belanda gencar melancarkan kolonialisme dengan membentuk negara boneka untuk memecah persatuan nasional. Agresi Belanda menggila. Beberapa wilayah berhasil diduduki termasuk ibukota Jakarta. Pemerintah pun hijrah ke Yogyakarta.

Dari dalam negeri oposisi yang digalang Perdana Menteri Amir Sjarifuddin kian menambah runyam kehidupan politik. Partai oposisi Front Demokrasi Rakyat (FDR) bentukan Amir Sjarifuddin berhasil menggalang beberapa partai dan organisasi sayap kiri.

Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia turut bergabung bersama kubu oposisi.

Rakyat pun tak kalah menderita. Terjadi kelangkaan beras akibat blokade Belanda. Uang dicetak tanpa perhitungan. Inflasi hebat terjadi.

Ribuan pengungsi melakukan hijrah menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini akibat Perjanjian Renville yang secara de facto mengakui Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai wilayah Indonesia.

Di luar dua daerah itu bermunculan negara federal yang secara politik mendapat dukungan penuh dari Belanda.

Dalam tulisan berjudul "May 2008 and One Hundred Years Ago: History, Myth, and Consciousness," jurnal Masyarakat Indonesia, No. 2, 2008, sejarawah Taufik Abdullah menulis, "Dalam keadaan Republik yang krusial itu, sebuah simbol baru persatuan sangat dibutuhkan."

Dikutip dari Historia.id, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno-Hatta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1948 sebagai hari Kebangkitan Nasional (saat itu istilahnya Kebangunan Nasional) yang ke-40.

Presiden Sukarno menyatakan, 20 Mei 1908 patut dianggap hari mulia oleh bangsa Indonesia, karena pada hari itu perhimpunan kebangsaan yang pertama, yaitu Boedi Oetomo, didirikan dengan maksud menyatukan rakyat, yang dulu masih terpecah-belah, agar dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat.

Yang menarik, penyelenggara acara Kebangunan Nasional ke-40 tidak dipegang oleh pihak pemerintah melainkan dimotori kekuatan sosial dan politik. 

Mr. Asaat ketua KNPI ditugaskan Presiden Sukarno agar mengadakan pertemuan dengan berbagai perwakilan golongan dan dan partai.

Ki Hadjar Dewantara pimpinan Taman Siswa ditunjuk sebagai Ketua penyelenggara Kebangunan Nasional ke-40. Anggotanya Tjugito (tokoh PKI mewakili FDR), A.M. Sangadji (Masyumi), Sabilal Rasjad (Partai Nasional Indonesia), Ny. A. Hilal (Kongres Wanita Indonesia), Tatang Mahmud (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan H. Benyamin (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline