Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Hikmah Pandemi: Mendidik "Bersama" Rakyat, Bukan Mendidik "Untuk" Rakyat

Diperbarui: 16 Mei 2020   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak SDN Mawan berjalan kaki pulang sekolah di Distrik Mandobo, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Selasa (3/3/2020). Foto: Kompas.id/AGUS SUSANTO

Siapa menyangka pandemi Covid-19 mendera kita dalam waktu yang terasa begitu lama. Imbas dari anjuran jaga jarak sosial dan individual ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Sektor ekonomi, transportasi, dan pariwisata langsung terpukul.

Pendidikan pun harus melakukan revolusi pembelajaran yang tidak pernah dihitung dan dipersiapkan sebelumnya. Belajar online, belajar daring, mobile learning, web-based learning menjadi pilihan yang terpaksa dilakukan.

Semuanya serba mendadak. Semuanya bergerak cepat. Semuanya terbata-bata menyusun langkah penyesuaian diri.

Proses belajar yang sedianya terpusat di sekolah dan terkurung dalam ruang kelas, kini "ambyar", terpecah-pecah sesuai jarak dan domisili siswa. Siswa dan guru tidak bertemu secara fisik. Jarak dan lokasi terpisah meski teknologi informasi menghubungkan pertemuan guru dan siswa.

Anjuran belajar di rumah memang gampang diucapkan. Namun, pelaksanaannya membuat kepala orangtua mumet. Mengendalikan anak belajar di rumah ternyata susah minta ampun. Dalam pandangan anak (mungkin) ayah dan ibu dianggap bukan guru layaknya figur yang mereka jumpai di sekolah.

Anak belum terbiasa belajar di rumah secara formal. Belajar mata pelajaran itu ya bersama Bapak atau Ibu guru di sekolah. Mengerjakan soal, menulis dari papan tulis, lalu hasilnya dinilai oleh guru.

Bahkan, beberapa tahun terakhir sekolah diminta tidak membebani anak Pekerjaan Rumah (PR). Jangan membawa-bawa urusan belajar sekolah ke rumah. Urusan di sekolah selesaikan di sekolah, kira-kira demikian tujuan peniadaan PR.

Setali tiga uang. Orangtua pun kerap kali pasrah bongkokan. Pokoknya, urusan belajar diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah atau guru privat. Titik.

Sekarang, situasi dan kondisinya berbalik. Covid-19 bagaikan air bah tsunami yang mengembalikan peran, fungsi dan tanggung jawab pendidikan kepada ayah dan ibu. Entah berapa banyak orangtua yang "menyerah" akibat digulung tsunami tanggung jawab pendidikan anak mereka.

Proses belajar online di rumah menyadarkan kita bahwa sebagai orangtua kita bergantung sepenuh-penuhnya kepada pemerintah dan guru sebagai otoritas pemegang lisensi formalitas belajar. Tentu saja ketergantungan itu terasa nyaman karena membebaskan orangtua dari peliknya mengemban tugas pendidikan.

Pemerintah pun terlalu berkuasa menata birokrasi pendidikan sehingga tiada upaya dari guru maupun orangtua selain mengikuti regulasi demi regulasi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline