Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Belanja Online: Tiada Hari Tanpa Diskon, Jebakan atau "Aji Mumpung"?

Diperbarui: 13 Mei 2020   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi belanja online. (KOMPAS.com/shutterstock)

Kalau Anda berangkat dari Jombang menuju Surabaya, kendaraan apa yang Anda pilih? Bagi penggemar kereta api, silakan menggunakan jasa Kereta Api Indonesia. Yang gemar naik bus, silakan naik bus tarif biasa atau bus cepat. Dan mohon tidak mengecam mereka yang memilih naik motor karena suka touring.

Semuanya bergantung pada kemampuan, pertimbangan, dan bahkan hobi yang berbeda setiap orang.

Digital Footprint

Demikianlah cara dan metode orang menempuh perjalanan, demikian pula cara dan metode kita membelanjakan uang. Mau belanja secara online monggo, mau belanja secara offline silakan. Tidak ada benar yang paling benar, tidak salah yang paling salah. Relatif.

Justru yang perlu dipertimbangkan adalah fakta di balik belanja daring. Seperti menggunakan transportasi berbahan bakar fosil, belanja online memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan.

Belanja secara daring selain praktis dan memangkas mobilitas fisik, ternyata membutuhkan berton-ton bungkus kemasan. Perusahaan ritel di Inggris membutuhkan 59 miliar barang plastik setiap tahun.

Model pengiriman barang ke rumah kian populer. Hal ini menghasilkan emisi karbon yang lebih kecil ketimbang pembeli menggunakan kendaraan sendiri untuk belanja.

Belanja online memberikan pilihan yang lebih ramah lingkungan. Apalagi, sejak corona menyapa kita, aktivitas belanja online dalam jarak kurang dari 3 kilometer yang diantar ke rumah kian diperhitungkan dan jadi pilihan menarik.

Selain memenuhi protokol kesehatan yang menganjurkan pembatasan jarak sosial dan individual, pelanggan dan pembeli bisa bersepakat untuk mengurangi penggunaan kantong logistik berbahan plastik.

Itu jelas perilaku belanja yang ramah lingkungan. Orang menyebutnya crowd-sourcing, yaitu orang mengantarkan paket sambil bepergian dengan biaya murah.

Terlepas dari perilaku belanja secara daring yang ramah lingkungan, tampaknya kita juga perlu berhati-hati. Jejak belanja digital seperti tapak kaki yang berjalan di atas tanah yang basah. Digital footprint, kata Sinta Dewi Rosadi, Guru Besar Hukum Teknologi Informasi Universitas Padjadjaran Bandung, yaitu jejak digital pasif dan aktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline