Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

"Ayo Dihabiskan, Nanti Nasinya Menangis!"

Diperbarui: 2 Mei 2020   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tulisan sebelumnya, Ramuan Tradisional yang (Masih) Dipandang Sebelah Mata, saya memandang sebaiknya kita tidak latah memitos-mitoskan wejangan mbah buyut.

Pikiran boleh maju dan bergerak secapat kilat. Peradaban silakan mencapai cakrawala supra-supra modern. Revolusi teknologi informasi monggo melesat hingga 4.0, 5.0, 10.0, 212.0. 

Namun, menjadi diri sendiri beserta akar kesadaran budaya harus dijaga dan dipertahankan.

Yang Jawa silakan menjadi manusia Jawa. Bugis bertahanlah pada akar manusia Bugis. Madura jangan bergeser menjadi manusia bukan Madura.

Akar sejarah dan budaya itu mengandung kosmos kesadaran yang hakiki. Ia berangkat dari kasus lokal namun kesadarannya bersifat universal.

Kita ambil satu kasus: ketika peradaban modern pusing oleh 60 persen tumpukan sampah makanan di Surabaya dan Bogor, mbah buyut kita telah mengajarkan sikap arif terhadap makanan. "Ayo dihabiskan, nanti nasinya menangis." Kearifan berskala lokal namun kosmos kesadarannya bersifat universal.

Prinsip wejangan "nasi menangis" ini sungguh sederhana. Pertama, kenali daya tampung lambung dalam perutmu. Bisa jadi setiap orang daya tampung lambungnya berbeda. Namun, rata-rata orang akan menggeh-menggeh setelah menghabiskan dua piring penuh nasi bersama lauk pauknya.

Jadi, ambil makanan sesuai daya tampung lambung. Tidak kurang tidak lebih. Anjuran makan ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang, patut diterapkan.

Kedua, kalau mengenal daya tampung perut sendiri tidak akurat, bagaimana kita mampu memimpin diri sendiri? Kalau dalam urusan makan kita gagal memimpin diri sendiri, bagaimana kita bisa memimpin orang lain dan merasakan penderitaannya?

Hal itu bukan hanya terkait dengan sedikit atau banyaknya makanan yang kita timbun di dalam perut. Kepemimpinan "nasi menangis" ini memiliki kontinuasi dengan ketangguhan seseorang berperang melawan hawa nafsunya.

Kebutuhan lambung dan organ tubuh ada batasnya. Sedangkan keinginan manusia tidak ada batasnya. Pada koordinat inilah seseorang mengalami ujian. Apakah ia lebih "rasional" dibandingkan ular piton yang sanggup berpuasa karena belum waktunya makan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline