Pemilik warung kopi itu akhirnya dibawa ke Polres bersama mobil polisi yang lampunya byar-pet, byar-pet dan bikin mata bloloken. Apa pasal?
Malam belum larut benar. Polisi mendapati lima anak muda sedang nongkrong di warung kopi itu. Patroli polisi pun berhenti. Anak-anak diminta menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka juga menerima penyuluhan singkat tentang social distancing dan physical distancing.
Bagaimana nasib pemilik warung kopi? Tiba di Polres, ia disodori surat pernyataan dan diminta tanda tangan. Isinya, pernyataan menutup warung hingga waktu yang tidak bisa dipastikan hingga kapan. Surat pernyataan itu pun ditandangani. Anak muda pemilik warung kopi, generasi penerus bangsa ini, tidak pakai rewel mengikuti anjuran polisi demi ketertiban dan keselamatan bersama.
Lha kok malam-malam berkumpul apa itu mematuhi imbauan physical ditancing? Posisi duduk mereka sebenarnya berjauhan, berjarak satu meter lebih. Malam itu mereka sedang menyusun aksi pemberdayaan dusun di pelosok sebelah utara kota Jombang. Sejak Jombang ditetapkan sebagai zona merah Covid-19, dusun yang infrastruktur jalannya belum dijamah pembangunan itu, kian terisolir.
Masyarakat dusun itu, entah menerima kabar apa, entah mendengar hoaks, misinformasi, disinformasi, atau bias informasi tentang Covid-19 dari mana atau dari siapa, jadi ketakutan benar.
Rencananya, anak-anak muda yang berembug di warung kopi itu akan berangkat ke sana. Pemberian edukasi tentang social distancing dan physical distancing, penyadaran ketahanan pangan, pendidikan berbasis keluarga tengah dibahas malam itu. Namun, apa daya, ndilalah, mereka terkena obyakan patroli polisi.
Apalagi, beberapa pekan terakhir, merebak berita penolakan pemakaman jenazah di wilayah tertentu. Warga dusun yang tidak tersentuh edukasi akan rentan melakukan tindakan di luar nalar dan melampau batas kewajaran.
Kecemasan, ketakutan, tekanan, depresi atau situasi emosi negatif lainnya kian melumpuhkan rasionalitas dan akal sehat. Kebiasaan berbuat nekad perlu diantisipasi dengan pertimbangan yang masuk akal. Keselamatan individu dan orang lain perlu jadi pertimbangan utama.
Krisis mental tak kalah berbahaya dibanding krisis pangan. Bertindak positif, bersikap positif dan berpikir positif gencar disampaikan kepada publik sebagai anjuran untuk melawan teror kecemasan.
"Yang penting kita ini mesti berpikir positif, bersikap positif, bertindak positif," kata Pumawan di Graha BNPB, Jakarta Timur, Minggu (28/3/2020), seperti dikutip Kompas.com.
Berpikir positif juga kerap dijadikan strategi mengatasi masalah kesehatan mental. Apalagi, di tengah kepungan pandemi dan orang mulai mengalami tekanan emosi, anjuran berpikir positif rasanya sulit ditolak kebenarannya.