Lima hari yang lalu, gerbang masuk Perumahan Pulo Asri Jombang masih sepi. Kini, dua orang satpam berjaga. Yang hendak memasuki perumahan diminta menjalankan kendaraannya pelan-pelan. Telah disiapkan desinfektan di pintu gerbang.
Orang dari luar dan warga perumahan hanya diperkenankan melewati "satu pintu". Tujuannya agar mereka merasakan "hujan gerimis" desinfektan.
Terpasang juga "Iklan Layanan Masyarakat" tentang menjaga jarak fisik. Di baliho berukuran besar tertulis: "Kawasan Perumahan Tertib PHYSICAL DISTANCING, Perumahan Pulo Asri."
Di beberapa tempat yang lain kita juga menyaksikan gerakan masyarakat yang serupa. Mereka memasang fasilitas cuci tangan. Di beberapa gapura desa di sekitar kampung saya, atau di lokasi yang biasanya menjadi tempat orang berkumpul, dijumpai fasilitas untuk menjaga kebersihan tangan.
Di tengah hujan deras pandemi virus Korona, sikap optimisme perlu dibangun. Kita yang memulai, kita pula yang mengakhiri virus ini. Happy ending, demikian optimisme ini kita suntikkan -terus menerus- ke dalam jiwa kesadaran kita.
Salut, bahagia, bangga menyaksikan kesadaran kolektif warga masyarakat. Mereka mulai sadar pentingnya membentengi diri. Dalam kondisi seperti ini tindakan pencegahan adalah "fardlu 'ain".
Gerakan bersama menjaga jarak fisik (physical distancing), maraknya pemasangan fasilitas cuci tangan, kian tumbuhnya kesadaran #DiRumahAja apabila dikerjakan secara kompak dan masif akan membawa dampak positif yang signifikan.
Perdebatan tentang sikap keimanan, seperti "Saya hanya takut pada Allah Swt", "Ini nyawa, nyawa Gue!", "Malaikat Izrail tidak pernah salah pilih saat mencabut nyawa", atau sejumlah egoisme kebodohan yang lain, seperti bergerombol ngopi bareng, cangkruk berjamah, nongkrong bersama sudah saatnya dihentikan.
Beriman Benere Dhewe
Persoalannya, Iman dan Islam acap kali diterapkan secara parsial. "Saya hanya takut pada Allah" merupakan pernyataan dari pemikiran sepenggal. Tidak utuh. Tidak jangkep. Bahkan sarat egoisme. Dan karena itu, ia mengandung sejumlah mudlorot di tengah kehidupan sosial yang tengah berjuang menghadapi pandemi.
Keimanan yang dibangun oleh hasil pemikiran yang tidak seimbang akan menjadi kebenaran normatif. Ia tidak berpijak pada konteks ruang dan waktu. Keimanan model begini justru memproduksi perilaku yang egois. Kata orang Jawa, "Ia mengedepankan benere dhewe alias benarnya sendiri."