Apa yang sesungguhnya sedang menimpa pendidikan di Indonesia? Tidak mudah menjawabnya, kendati data dan fakta begitu gamblang menampilkan sejumlah keprihatinan.
Saya tidak tengah menularkan virus pesimisme. Namun, mencermati perjalanan pendidikan di tingkat lokal kabupaten saja, rasanya bikin gemes. Ngeri-ngeri sedap.
Bagaimana tidak? Membaca rilis hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2018, sudah bukan kabar buruk lagi. Ini tragedi pendidikan yang melingkar-lingkar seperti setan.
Rata-rata skor siswa Indonesia adalah 371 kemampuan membaca, 379 kemampuan matematika, 396 kemampuan sains. Capaian skor ini di bawah rata-rata 79 negara peserta PISA.
Tes PISA tidak mengukur kemampuan siswa menguasai konten kurikulum, melainkan untuk mengetahui apakah siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan literasi membaca, literasi matematika, literasi sains. Hasil skor PISA yang rendah menunjukkan kemampuan literasi yang juga rendah.
Artinya, siswa di Indonesia (yang diuji melalui tes PISA) belum memiliki kemampuan berpikir logis yang mendasar dalam hal membaca, matematika dan sains.
Bukan hanya kecewa --bahkan sangat ingin marah, tapi entah ditumpahkan kepada siapa atau apa. Sementara stakeholder pendidikan masih mbeguguk nguto watu alias diam di tempat, tidak mau bergerak atau digerakkan.
Suasana di Kota Santri yang Perlu Dicermati
Alih-alih melakukan pembenahan filosofi pembelajaran, atau mengerjakan perubahan mendasar sesuai data faktual pencapaian pendidikan Nasional yang dirilis PISA.
Tahun ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang memulai penerapan Kurikulum Muatan Lokal Keagamaan dan Pendidikan Diniyah pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Sekilas program tersebut terkesan menjanjikan. Apalagi Jombang dikenal sebagai Kota Santri. Namun, akan seperti apa efektivitas, output dan outcome program muatan lokal keagamaan itu?