Menyimak kisah Pak Izar dan Kang Mahbub, dua sahabat yang mengabdikan diri di Dusun Bajulmati, awal tahun 90-an, membuat hati miris. Dusun yang terletak di Kecamatan Gajahrejo Kabupaten Malang, waktu itu dikurung oleh buta aksara akut.
Menurut cerita dua sahabat saya, ada siswa tamat sekolah dasar tapi belum lancar membaca.
Tidak sedikit orangtua mengajak anak bekerja di ladang daripada mengantarkannya ke sekolah. Jamak ditemukan orang tua, juga anak-anak, tidak bisa membaca.
Kondisi Dusun Bajulmati dua puluh sembilan tahun lalu, masih dialami oleh saudara kita yang tinggal di kawasan timur Indonesia. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan angka buta aksara masih sekitar 1,93 persen atau 3,2 juta orang.
Pemerintah terus berupaya memberantas buta aksara. Tahun ini, untuk memperingati Hari Aksara Internasional, Indonesia memilih tema "Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat".
Pemberantasan buta aksara akan bersentuhan dengan bidang kebutuhan yang lain, seperti infrastruktur pendidikan, kualitas guru, akses perpustakaan, pemberdayaan ekonomi. Satu hal tidak boleh diabaikan adalah penanganan gizi buruk.
Bisa dipastikan, kantong-kantong buta aksara berada di daerah pinggiran, terpencil dan terisolasi. Daerah itu juga menjadi kantong-kantong kemiskinan. Buta huruf berkelindan dengan keterbatasan, kemiskinan serta ketidakberdayaan.
Untuk itu, pemberantasan buta aksara harus memerhatikan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat. Pemberantasan buta huruf yang diartikan secara minimalis akan kurang memberikan manfaat. Mengapa?
Masyarakat yang mengalami buta huruf bukan hanya kesulitan mengakses informasi. Mereka juga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi.
Fakta yang diceritakan Pak Izar menunjukkan rendahnya kesadaran orangtua terhadap pendidikan. Lebih baik anak bekerja di ladang, membantu mencari uang, ketimbang belajar di sekolah.
Dari sisi orangtua, sikap tersebut tidak salah karena keterbatasan informasi dan pola pikir. Namun, pada sisi yang lain timbul pertanyaan, bagaimana memberdayakan hidup mereka?