Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Sensor dan Blokir Tanpa Konteks, Inikah Wajah Kita yang Sebenarnya?

Diperbarui: 19 September 2019   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock via kompas.com

Saat mengawali tulisan ini saya baru sadar, ternyata sudah lima tahun lebih saat primetime televisi di rumah tidak pernah menyala.

Apa sebab? Sinetron dan hiburan selama primetime tidak atau belum menjadi tontonan yang menyehatkan. Tidak menonton pun tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan saya bisa meminimalkan polusi suara akibat televisi yang terus menyala.

Saya sendiri juga jarang menonton berita dari siaran televisi. Selain televisi bukan sumber informasi utama, saya lebih nyaman menyaksikan berita atau breaking news melalui channel online. Demi menghemat kuota internet membuat saya menyerap informasi secukupnya saja.

Peran Keluarga
Kita tidak menyerahkan sepenuhnya sensor dan blokir tayangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Sensor yang utama dan blokir yang efektif terhadap tayangan televisi terletak pada kontrol kebijakan keluarga.

Menyeleksi informasi yang ditayangkan televisi ataupun media online adalah filter untuk mengatasi banjir informasi. Permasalahannya, apakah keluarga sebagai institusi terkecil dari pendidikan telah mengambil peran secara optimal?

Kita bisa menuding bahwa literasi media di Indonesia masih rendah. Publik belum melek media, sehingga mereka dianggap belum mampu bertindak rasional dan memilih konten sesuai kebutuhan. KPI sebagai penjaga gawang konten dan tayangan belum tergantikan.

Beberapa waktu lalu, gonjang-ganjing KPI yang akan mengawasi konten Netflix dan YouTube pun menuai pro dan kontra.

Otoritas KPI sebagai penyusun dan pengawas berbagai peraturan penyiaran sering kabur. Bahkan publik menilai KPI berkinerja buruk. Belum lagi menghitung proses rekrutmen sebagai penyebab kinerja KPI yang amburadul. Tidak heran, tanda pagar BubarkanKPI bertebaran di media sosial.

KPI Bukan Malaikat
Gamblang sudah, membincangkan kontrol tayangan televisi bukan sebuah rangkaian faktor tunggal. Kita berhadapan dengan begitu banyak lipatan, tikungan, lapisan sekaligus kepentingan di balik teguran KPI kepada stasiun televisi.

Tanpa maksud menyederhanakan persoalan, kita perlu melihat karut marut ini secara rasional dengan ruang lingkup yang jelas.

Soal kinerja buruk KPI tidak harus diselesaikan dengan cara membubarkan lembaga yang dibentuk pada 2002 itu. KPI perlu dikembalikan pada maqam dan khittah-nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline