Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Jangan-jangan Dia Bukan Manusia

Diperbarui: 17 September 2019   19:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay.com/PDPics

Malam itu, yang mengemuka dalam diskusi kami bukan bagaimana cara menemukan dan mengenali diri, melainkan mengapa sebagian besar orang zaman now sulit mengerti siapa dirinya?.

Ungkapan "sebagian besar" memang bukan hasil temuan riset resmi. Kami berbagi pengalaman dan menemukan "sebagian besar" mereka tidak atau belum mengenali diri.

Saya juga menjumpai pengalaman serupa. Tidak sedikit dari anak-anak hingga orang dewasa yang saya jumpai melalui forum diskusi, bahkan hingga kuliah di perguruan tinggi, belum menemukan gairah hidupnya.

Mengenali diri, apakah begitu penting, misalnya, untuk menjawab pertanyaan, mengapa kita memiliki perilaku yang khas? Mengapa kita intens merasakan perasaan tertentu sementara abai terhadap perasaan yang lain?.

Kita memiliki gagasan dan defisini tentang siapa diri kita. Namun, rumusan dan definisi itu seringkali tidak lengkap dan tidak konsisten.

Akibatnya, kita mudah diombang-ambingkan oleh opini orang lain tentang diri kita. Lantas kita bersedih terhadap sesuatu yang mestinya kita tidak perlu bersedih. Kita pun mencari kebahagiaan melalui ukuran-ukuran di luar diri kita.

Alih-alih memahami mengapa kita bersedih, kemudian niteni setiap gerak gerik perasaan, pikiran, motivasi. Kita malah menyerahkan diri pada teori kebahagiaan. Kita pada akhirnya mengejar bayangan bernama kebahagiaan.

Tercapai? Ya, tapi berapa lama kebahagiaan (semu) akan bertahan? Kita mudah diguncang oleh peristiwa yang sepele. Kita pun kembali sumpek, sedih dan merana.

Kunci menemukan kebahagiaan adalah mengenali diri. Sedih dan bahagia yang datang silih berganti tidak membuat kita larut. Emosi relatif stabil.

Jadi, bagaimana kita bisa belajar mengenali perasaan kita? Orang Jawa mengatakan, waskita jalaran saka niteni. Orang yang mengetahui apa yang akan terjadi merupakan buah dari pengamatan yang sabar, tekun dan teliti.

Kita melakukan pembacaan terus menerus terhadap diri sendiri. Gerak-gerik pikiran dan perasaan, logika dan emosi, hingga krenteg atau bisikan suara hati, diwaspadai secara cermat sebagai usaha untuk niteni fenomena di dalam diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline