Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Muhajirin yang Sejati Itu Siapa?

Diperbarui: 1 September 2019   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: assajidin.com

Apa yang pertama kali terpikir saat mendengar kata "hijrah"? Masihkah terbayang di pikiran kita sosok Nabi yang murah senyum, penyabar dan pemaaf?

Ataukah isi kepala kita telah dijejali kata-kata mutakhir, seperti artis hijrah, novel hijrah, kuliner hijrah? Jangan-jangan, kata "hijrah" justru mengingatkan kita pada "Warung Bakso Hijrah", langganan kita?

Sebagaimana kita kerap salah sangka dengan kata "syariah".  Saat kata tersebut ditempelkan pada kata yang lain, misalnya bank syariah, hijab syar'i, wisata syariah, hotel syariah, kita spontan mengidentifikasi sebagai berkesan Islam.

Di dekat kampung saya, tukang cukur rambut menamai usahanya dengan Potong Rambut "Al-Amin". Ada juga Toko Roti "Amanah". Sekelompok anak muda memasang nama "Wali" untuk nama grup band mereka.

Tidak salah dengan semua nama itu. Namun, rasanya masih tanggung, belum total. Kapan-kapan segera kita launching Paguyuban Mancing "Izroil", Jamaah Ngopi "Jahanam".

Kita bukan hanya mengalami polusi sosial dan eksternalitas negatif. Bahkan kita dikepung oleh defisit nilai, mulai dari kata-kata yang hilang makna hingga praktik transaksi yang menjual kemuliaan sebagai merek.

Akibatnya, hijrah tidak terutama sebagai kesadaran inti yang diaktualisasikan setiap hari. Tapi, sebagai barang jualan, branding, citra, merek yang ditempelkan pada kepentingan industri pasar.

Hijrah sebagai kesadaran nilai dirampas oleh lembaga pasar dan institusi kekuasaan.

Bagaimana tidak? Pendidikan, misalnya, yang dihidupi oleh nilai kesadaran hijrah "turun derajat" menjadi ajang transaksi yang berkutat pada untung rugi bersifat materi.

Pendidikan yang asal dan aslinya adalah semesta nilai, kini, menjadi bilik transaksi jual beli. Indikatornya, penyelenggara dan konsumen pendidikan memiliki tujuan yang sama, yakni bercita-cita jadi orang kaya.

Kita kehilangan pijakan dan orientasi terhadap nilai. Kata-kata sekadar kata-kata. Hijrah, Al-Amin, Amanah, Wali, Dewa menjadi populer. Sayangnya, popularitas itu tidak disertai internalisasi dan aktualisasi nilai sebagaimana dikandung oleh kata-kata tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline