Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Saatnya Kembali ke Ibu Kota, dari "Jawa-sentris" Menuju "Indonesia-sentris"

Diperbarui: 29 Agustus 2019   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Indonesia bukan (hanya) Jawa, Kalimantan, Papua, Sunda. Indonesia itu ya Jawa, ya Kalimantan, ya Papua, ya Sunda. Seperti makanan Gado-gado, itulah Indonesia. Sebuah analog yang tepat untuk menggambarkan keragaman Bangsa Indonesia.

Keberadaan suku dan bangsa yang terbentang dari Sabang sampai Merauke menempati peran dan fungsinya masing-masing. Tak ubahnya lontong biarlah jadi lontong. Tomat tetaplah jadi tomat. Indonesia jangan di-Jawa-kan, di-Sumatera-kan, di-Madura-kan. Bahkan, jangan pula Indonesia di-Jakarta-kan. Setiap suku dan bangsa meng-Indonesia bersama-sama. Spirit ini mengemuka melalui pernyataan "saatnya kembali ke ibu kota". 

"Saat bicara dengan antropolog dan budayawan, kami diminta jangan menyebut pindah ibu kota, tapi kembali ke ibu kota karena kerajaan pertama (di Indonesia) adalah Kutai. Rupanya mbah-nya kerajaan lama di Indonesia yang turun sampai Mataram. Intinya, ini kerajaan pertama, peradaban pertama (Indonesia), makanya budayawan bilangnya kembali ke ibu kota," tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Rabu (28/8/2019) siang.

Lantas, Jakarta selama ini jadi apa? Jakarta adalah ibu kota dengan segala dinamika sejarah yang dimilikinya. Namun, Indonesia bukan hanya Jakarta. Memang, nyaris semua suku dan golongan tumplekblek di Jakarta.

Persoalannya, bukan hanya daya dukung lingkungan dan daya tampung Jakarta semakin mengkek-mengkek. Ada 10,37 juta jiwa beradu nasib di sana. Bukan pula "sekadar" urusan banjir menggenangi wilayah yang permukaan tanahnya turun hingga 20 cm per tahun. Atau polusi udara yang semakin menggila.

Barangkali, bisa dikatakan, Jakarta adalah ibu kota "sementara". Hal ini bukan untuk menegaskan penyebutan dengan konotasi negatif. Jakarta tetap memiliki kontribusi sejarah bagi Indonesia, baik masa lalu, kini dan akan datang. Karena itu, kontinuasi sejarah harus bergerak. Berpindah dari perkotaan yang "Eropa-centris" menuju forest city. Syukur-syukur kota modern berwajah khas Indonesia.

Polemik dan frequently asked questions seputar perpindahan ibu kota mungkin akan tetap berlangsung. Tugas pemerintah adalah menjawab pertanyaan publik yang terus mengemuka. Misalnya, jaminan terhadap hutan hujan tropis Kalimantan yang telah terbentuk sejak 130 tahun lalu tetap terpelihara. 

Kita sadar hal itu bukan pekerjaan mudah. Kehancuran ekologi di Kalimantan masih mengancam. Eksploitasi besar-besaran sumber daya alam di Kalimantan bahkan dimulai sejak 1888. Sultan Kutai memberikan konsesi batubara dan minyak bumi kepada pengusaha Belanda, Jacobus Hubertus Menten.  

Namun, yang kita hadapi bukan hanya aspek lingkungan hidup, sosial budaya atau bagaimana wajah kota modern didesain. Yang kita ikhtiarkan adalah menggerakkan sejarah dari "Jawa-sentris" menuju "Indonesia-sentris". Ringkasnya, di mana pun ibu kota berada, tujuan paling utama adalah mempersembahkannya untuk Indonesia.

Cakrawalanya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[]

Jagalan 290819




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline