Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Bahkan di Hadapan Sebuah Buku, Kita Tidak Berdaulat

Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Konon, Abu Nawas pernah ditangkap dan diadili gara-gara sebilah pisau. Ke mana ia pergi, pisau selalu terselip di pinggangnya.

Kecurigaan tak terbendung. Abu Nawas ditangkap. Beberapa hari kemudian ia dihadapkan pada Jaksa Penuntut.

"Salah saya apa?" tanya Abu Nawas.

"Anda selalu membawa pisau. Publik khawatir Anda akan melakukan kejahatan."

"Baik. Saya siap dihukum. Syaratnya, Anda menemani saya di dalam penjara ," kata Abu Nawas.

Jaksa Penuntut pun kaget. "Kenapa saya ikut dipenjara!"

"Ke mana-mana Anda pergi sambil membawa alat kelamin. Publik merasa khawatir Anda akan melakukan pemerkosaan."

Cerita di atas mungkin saja fiktif. Namun, pesan yang tersirat di dalamnya tengah kita alami bersama.

Beberapa hari terakhir publik tersita perhatiannya oleh ceramah "salib" Ust. Abdul Somad. Benda berbentuk salib menjadi barang yang "dikutuk". Polemik pun terjadi.

Juga masih lekat di ingatan kita, buku-buku yang dianggap berbahaya, dirazia. Polisi menangkap dua mahasiswa di Kraksan, Probolinggo. Mereka menggelar lapak buku yang di antaranya buku biografi tokoh partai komunis, Dipa Nusantara Aidit.  

Vigilantisme model Abu Nawas ternyata masih terjadi di zaman yang katanya akan memasuki revolusi industri 4.0. Teknologi Artificial Intelligence (AI) tidak diikuti oleh tumbuhnya kecerdasan yang paling dasar. Kita terjebak pada pusaran bias kognitif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline