Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Politik "Sopo Siro Sopo Ingsun"

Diperbarui: 25 Februari 2019   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto - Sandiaga Uno dan Joko Widodo - Maruf Amin saat acara pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2019 di Gedung Komisi Pemilhan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2019).| KOMPAS.com/Kristianto Purnomo

Manusia yang merasa memiliki kebenaran hanya karena ia melakukan tahap pemahamannya, tidak sadar bahwa ia menuhankan dirinya, meskipun sedebu. - Emha Ainun Nadjib

Tidak pernah saya bayangkan dalam sepenggal hidup saya, akan hadir adegan orang saling menuding, mengomentari, mengklaim, memojokkan, mengadili saudaranya hanya gara-gara doa.

Belum hilang di ingatan kita momentum adegan doa yang "tertukar". Jagat media sosial ribut, bising tidak karuan, seperti anak kecil rebutan mainan. Setiap pihak yang berkepentingan dengan isi doa tersebut menyusun narasi pembenaran. Jurus "pokoknya" dikeluarkan. Pokoknya, itu doa untuk calon pasangan nomor 01. Tidak bisa! Doa tidak bisa direvisi. Pokoknya, itu doa untuk calon pasangan nomor 02.

Kita jadi bertengkar hanya gara-gara doa. Bukan karena doa yang menjadi pemicu pertengkaran, melainkan cara pandang, sikap pandang dan kepentingan pandang terhadap isi doa yang menyebabkan kita gampang disulut oleh situasi eyel-eyelan.

Sudut pandang, cara pandang, jarak pandang hingga kepentingan dan reaksi pandang terhadap doa atau hal apapun yang berbau dukung mendukung calon presiden, ditentukan oleh posisi pandang kita masing-masing.

Pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 02 akan sangat serius dan khusyuk mengamini doa munajat yang dibaca oleh Neno Warisman. Keseriusan dan kekhusyukan itu bisa saja dimaknai dan dikaitkan dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Namun, pada tataran  konteks yang lain, hidup bernegara tidak melulu urusan copras-capres

Foto: gelora.co

Peristiwa doa munajat itu bisa dipahami sebagai peristiwa subjektif, di mana orang-orang berkumpul untuk berdoa kepada Tuhan, walaupun ia diberangkatkan demi dan untuk kemaslahatan hidup bersama.

Namun, subjektivitas doa itu direspon secara berbeda oleh kelompok yang mendukung Capres dan Cawapres nomor urut 01. Beberapa respon yang saya catat, di antaranya: mengandaikan pemilihan presiden sebagai perang Badar terlalu berlebihan dan keluar dari konteks yang sebenarnya. Sebagai sesama umat Muslim Tuhan yang disembah sama, yakni Allah Swt. Lantas, apa kaitan Pilpres 2019 dengan "kekhawatiran tidak ada lagi menyembah Allah"?

Hiruk pikuk munajat doa Neno Warisman belum menjadi diskursus perdebatan publik yang mencerdaskan. Masing-masing pihak bersiteguh dengan "maqam" cara pandang dan kepentingan pandang masing-masing. Yang hadir di hadapan kita adalah suara "bising knalpot" dari mereka yang entah sadar atau tidak sedang memperjuangkan atau membela jagoan yang berkontestasi di Pilpres 2019.

Sayangya, kebisingan itu tidak menukik pada diskusi publik yang secara substansial menampilkan urgensi doa, lengkap dengan dimensi, nuansa hingga perspektif yang dilengkapi, misalnya oleh etimologi, terminologi, epistemologi apalagi keseimbangan rasionalitas teologi.

Yang kita saksikan adalah narasi dangkal untuk saling serang dan saling menjatuhkan. Kita diajak berenang-renang di gelombang paling permukaan, karena narasi pembenaran itu tidak diniatkan untuk mengembarai kebenaran. Alih-alih mencakrawalai kebenaran--kita malah diajak merampas "jubah" kebenaran dari Tuhan, lalu mengenakannya sebagai identitas kelompok, ormas, politik, aliran, madzhab, dan golongan di mana kita hidup dan mengejar kepentingan di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline