Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Kantin Kejujuran, Apa Kabarmu?

Diperbarui: 21 Desember 2018   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kantin kejujuran | Sumber ilustrasi: Kompas.com

Sekitar sepuluh tahun lalu, ramai digalakkan Kantin Kejujuran di sekolah. Program yang mulia ini bertujuan untuk menanamkan perilaku jujur terhadap siswa. 

Kantin tidak dijaga: siswa membayar dan mengambil uang kembalian sendiri. Kira-kira belum genap satu tahun, 1000 Kantin Kejujuran mengalami kerugian. Barang dagangan habis, tapi uang tidak ada.

Yang pasti, kegagalan menegakkan kejujuran di lingkungan sekolah tempat benih akal-budi disemai, merupakan ironi sekaligus tragedi.

Kenyataan itu semakin menegaskan praktik pengajaran lebih dominan ketimbang pendidikan. Padahal kita terlanjur memasang kepercayaan, memberi nama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengkampanyekan sekolah sebagai jalur utama agar manusia mengenyam pendidikan. Namun, di sisi fakta yang lain, sekolah adalah tempat mengajar bukan tempat mendidik.

Persoalan ini tidak timbul secara mendadak, melainkan akibat dari kontinuasi problematika yang solusinya tidak diselesaikan hingga akar. Sebut saja hal-hal prinsip, misalnya "evolusi konotasi" penggunaan kata guru yang berubah menjadi tenaga pendidik. Kata murid, siswa, berevolusi menjadi peserta didik.

Dahulu kita mengenal Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), lalu berubah menjadi institusi yang terkesan lebih praktis dan teknis: Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sementara, beberapa waktu lalu kita memperingati Hari Guru, bukan Hari Tenaga Kependidikan.

Inkonsistensi penggunaan istilah dalam praktik pendidikan merefleksikan gagap berpikir, gagap bersikap, gagap merespon isu-isu faktual lokal dan global. Praktik pendidikan kita mengalami turbulance yang tidak pernah selesai.

Salah satu kegagapan itu ditampilkan secara telanjang manakala siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah mengikuti ujian berbasis android. Keren dan canggih. Para birokrat pendidikan dan stakeholder sekolah bangga.

Lihatlah kita sanggup menandingi kemajuan teknologi informasi negara maju. Ujian berbasis kertas itu pemborosan. Di zaman milenial siswa harus berpikir maju. Sekolah wajib mengikuti perkembangan teknologi.

Dan lihatlah respon anak-anak milenial yang sebagian dari mereka adalah generasi Alpha. Saat berinteraksi dengan teknologi, cara berpikir mereka melampau generasi sebelumnya, termasuk orang tua, guru dan generasi lama Bapak-Ibu pejabat di lingkungan Kemendikbud dan Kemenag yang thunak-thunuk mengoperasikan handphone.

Nilai ujian berbasis android para peserta didik melesat. Seorang guru Madrasah Ibtidaiyah bercerita kepada saya dengan mata berbinar bangga. Peserta didik binaannya berhasil meraih nilai rata-rata berkategori tinggi. Belum selesai ia menikmati kebanggaan itu, salah satu siswa kelas enam nyeletuk, "Semua jawaban bisa dicari di Google. Anak-anak juga bisa bertanya melalui Whatsapp untuk berbagi jawaban."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline