Gara-gara menyiarkan podcast di sebuah media sosial, saya menerima hujan pertanyaan sekaligus kritikan. Banjir pertanyaan mengalir setiap hari usai saya mengulas tulisan bertema Kebenaran. Yang saya syukuri, pertanyaan dan kritikan disampaikan secara beradab. Mereka bertanya baik-baik; menyampaikan kritik secara proporsional.
Saya bersyukur. Kekhawatiran saya meleset. Media sosial yang disinyalir menjadi ajang vigilantisme (digital vigilantism)---menurut peneliti komunikasi, Daniel Trottier---pada konteks pengalaman saya, belum terbukti. Tidak semua pengguna media sosial terjebak perilaku vigilantis. Ringkasnya, masih ada "orang baik" yang menggunakan media sosial untuk tujuan dan maksud yang baik.
Kita perlu waspada agar tidak terseret arus dan terjebak "perkelahian" dikotomis. Memasang alarm logika dan kepekaan rasa untuk mencermati diskursus tentang tema dialog yang berseliweran di media sosial.
Persaingan politik menjadi aroma paling kuat yang menyengat hidung. Semua orang---apalagi mereka yang terlibat secara praktis---nyaris memasang kaca mata politik di kepalanya.
Fenomena rebutan siapa yang benar meruncing---pihak lawan selalu dituduh salah. Yang disalahkan tidak terima, karena menilai diri mereka benar. Lalu berbalik menyalahkan pihak penuduh. Dialektika saling menyerang dan menyalahkan---seraya menilai diri atau kelompoknya adalah pihak yang benar---berlangsung secara terorganisasi menggunakan platform media sosial.
Lalu terjadilah kebenaran melawan kebenaran. Barangkali kita lupa atau terlena: kebenaran adalah versi yang ragam dan macamnya tentu bukan cuma satu. Yang rasanya manis bukan hanya gula, tapi juga madu, sirup, mangga. Atau logikanya dibalik: yang manis pasti gula. Akibatnya, klaim sepihak akan menafikan rasa manis yang bukan berasal dari gula.
"Kebenaran kok versi, bagaimana itu, Kang?" tanya sahabat yang lain.
"Kalau kebenaran bukan versi, lantas kebenaran sendiri itu apa?" saya balik bertanya.
Dalam khasanah budaya Jawa kita mengenal tiga tingkat kebenaran. Yang pertama, benere dhewe atau benarnya sendiri. Maksudnya, benar menurut versi diri sendiri. Kisah yang menarik untuk menggambarkan benere dhewe adalah manakala dua pengembara sedang tersesat di tengah gurun pasir. Dari kejauhan tampak benda berwarna hitam. Mereka mendekati benda hitam itu sambil menebak gerangan apakah itu?
"Itu pasti kerbau," kata pengembara pertama.
"Bukan, sepertinya itu burung," kata pengembara kedua.