Pertanyaan itu mengusik benak saya ketika membaca broadcast yang dikirim Prof Daniel M. Rosyid. "Wajib Belajar tidak bisa, tidak mungkin dan tidak boleh diartikan menjadi Wajib Sekolah. Tujuan belajar itu akhirnya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup bermasyarakat. Tujuan belajar dan tujuan pendidikan tidak boleh berakhir di sekolah," tulisnya.
Ingatan saya kembali hinggap di kenangan masa lalu, membayangkan wajah guru saya di sekolah dasar. Wajah yang belum dibebani oleh kewajiban profesional layaknya guru zaman now. Wajah mereka mengabarkan panggilan guru terasa begitu agung, tulus dan mulia. Profesionalitas mereka bergerak di sisi tertentu yang lebih kuat didominasi oleh softskill. Panggilan guru menjadi otentik sebagai sosok yang digugu dan ditiru.
Zaman bergerak. Guru perlu diprofesionalisasi. Untuk menjawab tantangan profesionalitas, sebutan guru "dimodernkan" menjadi tenaga pendidik dan kependidikan. Murid berganti nama menjadi siswa, sebelum akhirnya diputuskan sebagai peserta didik.
Terjadilah relasi belajar antara tenaga pendidik dan peserta didik. Sayangnya, relasi tersebut dibingkai oleh proses produksi layaknya pabrik menghasilkan barang produksi.
Ada nuansa semantik yang hilang dari perubahan guru menjadi tenaga pendidik. Satu biji kata bukan sekadar kumpulan huruf yang tersusun untuk menuding makna atau realitas tertentu. Di sana akan kita jumpai roh bahasa, estetika, rasa bahasa yang menyimpan seluruh sistem pengetahuan, etika, moral.
Guru zaman dahulu, ketika saya mengenang kembali masa-masa belajar di sekolah dan langgar, tidak jarang memberi hukuman fisik seperti mencubit atau mengisi bak kamar mandi karena telat shalat berjamaah di mushola--menjadi ingatan jangka panjang yang bertaburan ilmu dan hikmah. Gagasan moral bahwa kata dan perbuatan seorang guru bisa digugu dan ditiru merupakan kenyataan yang hadir di tengah proses belajar dan kehidupan sehari-hari.
Entahlah, mengapa kini saya merasakan rasa semantik dan roh kata yang hambar ketika menyebut guru sebagai tenaga pendidik dan siswa sebagai peserta didik. Saya harus menghakimi pikiran saya sendiri yang merasa kecut menatap relasi industrial antara tenaga pendidik dan peserta didik. Sebagaimana relasi antara pekerja pabrik dengan bahan baku yang dicetak jadi produk tertentu.
Lazim dipahami, relasi itu terjadi berkat adanya rawinput siswa yang diproses dalam kegiatan belajar untuk menghasilkan output lulusan yang outcome-nya diserap oleh kebutuhan pasar. Sekolah menjadi pabrik manusia yang mencetak lulusan serba seragam karena diukur melalu standar kompetensi yang sudah di-blue-print-kan oleh pemerintah.
Dan tenaga pendidik adalah pekerja profesional yang dituntut menguasai sejumlah skill sesuai standarisasi yang dilatihkan melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Nyaris, sembilan puluh persen yang dilatihkan adalah skill mengajar (hardskill). Sisanya adalah softskill yang disampaikan secara sekilas.
Kompetensi kepribadian yang menjadi salah satu pilar kompetensi guru, tidak lebih sekadar dipahami sebagai bagian sistem kesadaran untuk mendukung relasi industrial antara tenaga pendidik dan peserta didik. Faktanya, model kepribadian itu akan enteng meninggalkan kelas alias jam kosong untuk menyelesaikan proses pemberkasan tunjangan.
Lalu kepada siapa Hari Guru itu ditujukan dan diperingati?