Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Mewaspadai Jejak Kata-kata Para Koruptor

Diperbarui: 28 Desember 2017   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://portalsemarang.com/

Perbincangan itu bergeser pada kenangan masa kecil saat bermain layang-layang. Jalanan belum seramai sekarang. Motor dan mobil masih jarang. Dulinan layangan, bermain layang-layang, adalah sebuah kemewahan zaman saya masih kecil. Serunya bermain layang-layang terbawa hingga kini. Kenangan yang sulit dilupakan.

Kami lantas mendaftari beberapa kata yang populer saat bermain layang-layang. Tentu saja kata-kata dalam bahasa Jawa, yaitu: methek, nyinthing, ngrokoli, sambitan, gradakan, manjer, nyenggrek, bandhilan. Tidak mungkin saya menulis semua kata-kata itu. Baru kami sadari hanya dari budaya permainan layang-layang bentukan kosa kata yang dihasilkan cukup beragam dan sangat detail.

Seiring dengan semakin jarang anak-anak bermain layang-layang, kata-kata itu semakin hilang dari percakapan. Beberapa kata bahkan telah punah. Anak-anak Jawa sekarang pasti tidak kenal "sambitan"---dua layang-layang di angkasa saling beradu benang.

Permainan tradisional pun semakin jarang ditemui di kampung-kampung. Kata-kata yang biasanya digunakan saat permainan tradisional terancam punah. Lahan kosong dan halaman rumah yang luas---zona bermain anak-anak, seperti patelele, gobak sodor, sridendem, nekeran---kini diisi oleh batu cor bangunan. Tanah yang dingin ditindih oleh paving block dan beton.

Kita tidak hanya menghadapi punahnya permainan tradisional, tetapi juga hilangnya ragam dan detail budaya ekspresi kata-kata yang sarat dengan nilai filosofi universal.

Summer Linguistic menyatakan, Indonesia memiliki tidak kurang 746 bahasa daerah. Sayangnya, kekayaan bahasa tersebut tidak dirawat dengan baik. Sekitar 25 bahasa daerah di Indonesia berstatus hampir punah. Sedangkan 13 bahasa daerah dinyatakan telah punah.

Siapa peduli dengan semua itu? Saya sendiri terperangah ketika kata-kata yang kerap digunakan saat bermain layang-layang di masa kecil kini sudah tidak digunakan lagi.

Yang kita dengarkan justru kata-kata yang dirusak makna denotatif dan konotatifnya oleh para koruptor. Kalau saya bertanya, "Mengapa Anda tidak menghadiri pengajian di masjid?"--- makna denotatif-konotatif dari kata "pengajian" dalam pikiran kita masih sama. Tetapi, tidak bagi para koruptor. Mereka membangun imaji kultural sendiri. Di akal bulus mereka, kata "pengajian" diacak-acak makna pengertiannya.

Kode "pengajian" muncul dalam kasus suap yang dilakukan Anggota Komisi XI DPR RI Aditya Anugrah Moha terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono. "Kode yang digunakan mereka, mohon maaf, 'pengajian'. Seperti, 'kapan pengajiannya?', 'tempat di mana'. Ini unik juga, jarang-jarang pakai kode seperti ini," ucap Laode saat konferensi pers di gedung KPK.

Terjadi distorsi cukup dahsyat. "Pengajian" dibentuk dari kata dasar "aji" yang berarti berharga sekali dan dianggap bertuah (tentang benda keramat); tidak ternilai kehormatan dan kedudukannya sehingga orang merasa wajib mengagungkan dan menghormati (kbbi.web.id).

Dalam budaya masyarakat Indonesia pengajian identik dengan kegiatan menuntut ilmu, majelis ta'lim, duduk dalam lingkaran kebersamaan yang itu semua bertujuan untuk meng-aji-kan diri. Menjadi manusia yang bermartabat, berharga, bernilai baik di hadapan Tuhan. Maka, bahasa Jawa merangkai kata "aji" menjadi ngaji dan ngajeni. Ngaji (memproses diri supaya aji) dengan cara ngajeni (menghargai, memberi "aji" pada orang lain).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline