Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Kembali Meng-alam-i Ketika Sedih dan Bahagia

Diperbarui: 23 Desember 2017   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay

Dan sore itu Sokib masih beredar dengan sepeda ongkel di jalanan kampung, sambil selalu tersenyum dan menyapa setiap orang. Ia adalah "saudagar" pulsa elektrik yang membuka lapak di gardu pos jaga. Dalam keadaan darurat pulsa, Sokib menjadi penyelamat warga kampung. Tidak peduli bayar tunai, kredit, atau pura-pura lupa belum bayar, Sokib melayani pembeli dengan riang hati.

Sokib yang selalu tersenyum selalu tampak bahagia. Bagi Sokib uang memang penting tapi bukan yang paling penting. Sokib bisa berbahagia dengan ataupun tanpa uang. Sokib tidak dikendalikan uang. Sokib mengendalikan uang. Maka, sore itu Sokib beredar dengan sepeda ongkel sambil selalu tersenyum dan menyapa setiap orang.

Jangankan kesedihan yang berpilu-pilu---kebahagiaan yang tercerabut dari akarnya juga berbahaya bagi kesehatan emosi. Sedih, bahagia, susah, gembira sesungguhnya bukan situasi perasaan yang berdiri sendiri dan saling menafikan. Walaupun antara sedih dan bahagia kerap ditempatkan sebagai dua perasaan yang bertentangan, namun ibarat koin keduanya berada dalam satu keping mata uang yang sama.

Sedih dan bahagia adalah dua dalam satu. Dua kenyataan perasaan itu berada dalam satu kesadaran. Sesedih apapun perasaan kita, bersamanya terdapat ruang bahagia. Sebahagia apapun hati kita, bersamanya terdapat ruang sedih. Kalau sedih datang menegur, ia hadir pula bersama bahagia. Kalau bahagia hadir menyapa, ia datang pula bersama sedih. Bukankah bersama datangnya kesulitan datang pula kemudahan?

Sebelum manusia menjadi bagian dari penghuni dunia, Tuhan telah menyediakan semua perangkat kebutuhan. Air, udara, tanah, api, pohon, hewan, gunung, gravitasi, suhu panas, suhu dingin---semua lengkap dengan potensinya masing-masing. Manusia tinggal mempelajari, niteni fungsi dan daya gunanya, diolah untuk kesejahteraan hidup bersama.

Fakta internal dan eksternal itu menunjukkan tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bahagia. Tuhan menciptakan manusia dengan default-kebahagiaan. Selama kita bergabung dengan alur logika sunnatullah itu---bersama keseimbangan hidup yang terbimbing---kehidupan yang adil dan makmur bukan hanya slogan.

Default-kebahagiaan itu bersifat suci dan alami. Ia langsung diinstal ke dalam jiwa manusia berkat Ide Kreatif Tuhan. Maka, setiap manusia akan meng-alam-i sedih dan bahagia. Meng-alam-i bagaimana? Meng-alam-i adalah kembali meng-alam, kembali kepada alur dialektika natural sebagaimana yang telah dijalani oleh semua penghuni alam semesta. Bukan sekadar mengalami atau menjalani atau merasakan secara sadar rasa sedih atau bahagia.

Meng-alam-i sangat berbeda dengan mengalami. Yang pertama adalah kesadaran yang membawa kita kembali kepada gerak organisme alam, penuh penghayatan, rendah hati, berdialektika secara sejajar. Sedangkan yang kedua cenderung "memisahkan diri" dan beranggapan bahwa alam dan isinya harus tunduk pada nafsu eksploitasi manusia.

Pernyataan Mbah Marijan: "Merapi sedang punya gawe" adalah kesadaran meng-alam-i. Sedangkan bagi manusia modern yang sarat dengan pengalaman, gunung meletus adalah bencana. Ketika Jakarta dilanda "persoalan klasik": banjir---kita beramai-ramai mengeluarkan pernyataan sikap yang hilirnya adalah sebuah pengalaman, bukan peng-alam-an.

Pada lingkup dan konteks pengalaman dan mengalami ini kita kerap terserimpung tali-tali sedih dan bahagia. Antara sedih dan bahagia bagaikan dua kamar yang dipisah oleh tembok. Kita ingin berada di kamar bahagia, selamanya. Atau ketika tiba-tiba berada di kamar gelap kesedihan, kita berontak, meronta, berlari pindah ke kamar bahagia.

Linier dikotomis---itulah cara berpikir dan bersikap kebanyakan orang menyikapi rasa sedih dan bahagia. Berbagai cara akan ditempuh untuk membeli kebahagiaan---walaupun harus menyusahkan orang lain. Demi berbahagia, kita menjadi orang yang berkuasa dengan melemahkan orang. Menjadi orang kaya dengan memiskinkan saudara sendiri. Menjadi orang pandai dengan membodohi sesama. Menjadi orang alim dan terhormat dengan menjual martabat orang lain. Hingga pada akhirnya kita tidak dapat membedakan antara kebahagiaan dengan kerakusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline