Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Halal "Lifestyle", Pilihan Gaya Hidup yang Universal

Diperbarui: 19 Desember 2017   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa tidak tergiur. Potensi pasar Gen-M, sebutan untuk Generation Muslim, diperkirakan mencapai 26,4 persen dari keseluruhan populasi dunia. Persentase itu akan menembus angka 2,2 miliar jiwa pada tahun 2020. Industri global pasti akan mengincar pasar Indonesia. Pada 2010 Badan Pusat Statistik melaporkan 87,7 persen atau sekitar 207 jiwa penduduk Indonesia bergama Islam.

Tidak heran apabila Indonesia menempati peringkat pertama konsumen produk makanan halal terbesar di dunia. Menurut State of The Global Islamic Economy Report2015 / 2016 yang diterbitkan oleh Thomson Reuters, pengeluaran masyarakat muslim Indonesia untuk mengkonsumsi produk makanan halal mencapai 157 miliar dolar pada 2014.

Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar dunia, Indonesia adalah ladang pasar yang potensial. Sayangnya, potensi itu belum dioptimalkan oleh pelaku industri halal dalam negeri. Indonesia baru menempati peringkat ke-10 produsen makanan halal di dunia. Peringkat pertama ditempati Malaysia.

Apakah Indonesia akan membuang peluang bonus demografi sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar? Bukan hanya demi kepentingan pemasukan uang negara, tetapi "barokah" produk halal yang dikonsumsi secara halal akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Mengapa potensi pasar konsumen muslim yang cukup besar tidak diimbangi dengan pengembangan produk halal? Persoalannya selalu berkisar pada bundelan-bundelan klasik, seperti belum adanya dukungan dari pemerintah, lemahnya pembinaan kepada UMKM, belum optimalnya daya serap anggaran untuk sertifikasi halal.

Yang Diperlukan Label Halal atau Haram?

Namun, di balik bundelan persoalan teknis-klasik itu kita tengah dihadapkan pada logika dasar label halal yang dipasang pada sebuah produk. Logikanya, produk yang memiliki label halal boleh dimanfaatkan atau dikonsumsi. Yang tidak berlabel halal tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan karena (mungkin) berstatus haram. Bagaimana pula dengan kemungkinan yang menimpa produk haram tapi dipasang label halal?

Sebuah produk kosmetik yang berlabel halal merasa memiliki legitimasi syariah: produk tersebut halal menurut hukum Islam sehingga aman dan boleh digunakan. Sedangkan produk kosmetik yang tidak berlabel halal memiliki legitimasi sebaliknya: produk tersebut haram menurut hukum Islam sehingga tidak aman dan tidak boleh digunakan. Simulasi sederhana ini dapat diterapkan pada produk barang maupun makanan yang lain.

Kalau kita mengikuti logika tersebut, setiap barang atau makanan yang kita konsumsi harus berlabel halal. Yang tidak berlabel halal adalah haram. Sertifikasi label halal yang dikeluarkan MUI menggunakan logika ini. Alangkah repotnya.    

Padahal hukum asal benda adalah mubah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah yang mengacu pada hukum fikih ini menunjukkan betapa sangat luas dan beragam potensi barang dan makanan yang bisa dimanfaatkan manusia. 

Meski demikian, di tengah keluasan dan keragaman itu terdapat pula larangan-larangan dari Tuhan untuk mengkonsumsinya. Larangan ini semestinya bisa diterapkan pada aplikasi label haram pada sebuah produk yang dikonsumsi masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline