Saya nyalakan laptop. Maksud hati akan mencari voice recorder di situs belanja online. Lhadalah, saya disambut iklan yang menawarkan diskon hingga 95 persen. Edan! Ternyata tengah berlangsung demo besar-besaran: demo 12.12. Hari Belanja Online Nasional. Peserta e-commerce mencapai jumlah terbanyak sejak lima tahun sejarah Harbolnas.
Pada tahun ini, Harbolnas menggandeng para UMKM di Indonesia untuk ikut berpatisipasi dalam acara belanja online terbesar di Indonesia. Momen yang cukup tepat bagi para pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya secara online.
Saya urungkan perburuan voice recorder. Melihat beberapa situs peserta Harbolnas saya menemukan sebagian besar diisi oleh penawaran fashion, gadget, dan barang elektronik. Saya belum menemukan penawaran diskon buku yang menggiurkan. Atau kapan-kapan kita selenggarakan saja Harbolbuknas: Hari Belanja Online Buku Nasional.
Promo diskon buku terbilang cukup sepi, kalah heboh dengan promo baju, kerudung, dan barang elektronik. Gegap gempita belanja kebutuhan yang kasat mata lebih menggiurkan. Buku masih menjadi barang "mewah"--memerlukan keputusan yang harus dipikir berulang kali--untuk membelinya. Ada rasa eman mengeluarkan duit, misalnya limapuluh ribu, untuk satu buku daripada membeli paket internet yang akan tersedot habis sebelum genap satu bulan.
Simulasi sederhananya adalah masyarakat sedang tergiur untuk berhias diri mengenakan asesoris yang kasat mata. Tampil lebih mewah, lebih keren, lebih gaya. Eksistensisme adalah menyematkan simbol-simbol wadag sesuai standar sosial-ekonomi yang lagi ngetrend.
Itu semua sah-sah saja. Laju pertumbuhan ekonomi harus dipacu. Uang harus terus berputar. Masyarakat harus didorong agar membelanjakan uang mereka. Sejak zaman Fir'aun hingga kelak zaman ultra-modern pangkat sejuta, ketertarikan manusia akan selalu berpihak pada benda-benda. Tuhan menciptakan materi jangan disia-siakan. Kita akan bergerak menuju satu pusaran peradaban yang sama: peradaban yang dipilari tonggak-tonggak materialisme.
Di tengah semua itu, ada dimensi jiwa manusia yang meronta. Teriakan-teriakan yang terpendam oleh rutinitas linier sehingga peristiwa bunuh diri misalnya, menjadi lorong sunyi untuk menggapai yang abadi.
Entah butuh waktu berapa abad lagi agar manusia bangun dari tidurnya, melek, menatap dirinya. Menyadari situasi kecelek masal bahwa sejatinya dunia adalah bagian dari akhirat, badan jasmani adalah bagian dari ruhani, bumi adalah bagian dari langit semesta. Membaca dan menulis akan menyorong kita masuk ke dalam situasi batin nan sunyi di tengah pusaran gelombang dahsyat eksistensisme wadag. Membaca dan menulis akan merangkum dan menemukan titik tengah polarisasi berpikir yang menjebak tidak sedikit manusia zaman ini.
Tidak ada yang salah dengan Harbolnas selama disikapi secara seimbang, adil dan jujur. Fasilitas diskon yang gila-gilaan tidak untuk menumpahkan nafsu belanja semata. Kita perlu berdaulat dan menemukan sikap yang presisi. Bukan soal belanja atau tidak, melainkan mengapa kita berbelanja? Belanja untuk melampiaskan keinginan ataukah memenuhi kebutuhan? Keinginan yang dibutuhkan ataukah kebutuhan yang diinginkan? []
Jombang, 12.12.2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H