Pada secarik kertas tertulis: “Kenapa hidup harus sesusah ini?” Pertanyaan yang tidak bisa dijawab langsung kepada yang bersangkutan karena penulisnya ditemukan tewas setelah melompat dari gedung pada Hari Natal 2015 lalu. Adalah Matsuri Takahashi, berusia 24 tahun, seorang eksekutif di perusahaan iklan Jepang mengakhiri hidupnya dalam timbunan kerja 100 jam setiap bulan.
BBC media melaporkan, Takahashi merupakan satu dari 2.159 pegawai tahun itu yang disimpulkan mati karena bekerja terlalu keras. Pada Oktober tahun lalu, pemerintah merilis laporan yang menunjukkan 25% perusahaan mempekerjakan pegawai yang lembur selama 80 jam atau lebih sebulan. Dengan etos kerja tersebut, temuan pemerintah mengisyaratkan bahwa para pegawai itu dalam bahaya karoshi.
Pada belahan bumi yang lain kita menjumpai slogan “Kerja, Kerja, Kerja.” Seakan-akan slogan itu ditujukan kepada warga pemalas yang menghabiskan waktunya untuk merokok dan jagongan ngalor-ngidul. Padahal, kerja bukan hanya terkait dengan etos dan profesionalisme modern. Kerja dan bekerja pada sebagian besar warga yang menjadi sasaran slogan itu merupakan ungkapan cinta dan kasih sayang kepada hidup dan kehidupan.
Mbah Man dan Pakdhe Tahu Solet
Orang memanggilnya Mbah Man. Laki-laki berusia setengah abad lebih itu berjualan batu akik sejak orang belum menggilai bisnis yang pernah booming itu. Tempat berjualannya pun tidak strategis—tepat di pinggir jalan yang menikung, sebelah timur Ringin Contong Jombang.
Selalu saja ada dua atau tiga orang yang jongkok di depan dagangannya. Sekedar melihat-lihat atau konsultasi ala kadarnya dengan Mbah Man. Menjelang tengah malam Simbah terkantuk-kantuk dan tidur pulas. Kesempatan terbuka lebar bagi mereka yang tega ngutil beberapa batu akik.
Setiap menghadiri Padhangmbulan di desa Mentoro, saya melakukan ritual rutin. Jongkok di depan penjual tahu solet. Lampu oblek yang remang-remang, tahu dan ote-ote panas menghadirkan kenikmatan tersendiri. Silahkan makan tahu atau ote-ote berapapun. Silahkan dihitung sendiri habis berapa biji. Seandainya makan sepuluh bilang tujuh, Pakdhe akan cuek-cuek saja dan percaya. Ia akan terus menggoreng tahu dan ote-ote.
Mbah Man dan Pakdhe penjual tahu solet tidak sedang berdagang. Mereka tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Anda mau jujur atau ngutil, ambil sepuluh mengaku lima, bagi Mbah Man dan Pakdhe tidak masalah, karena Anda sedang bermasalah dengan suara nurani Anda sendiri dan Tuhan.
Mbah Man dan Pakdhe bukan kapitalis. Bukan pengusaha yang menerapkan efisiensi untuk mengeruk laba sebanyak-banyaknya. Bukan pelaku ekonomi yang mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Mereka berdua adalah pelaku hidup dan kehidupan—bergembira melayani siapa saja yang mampir di “stan” jualan mereka setiap malam. Melayani ini bukan semata-mata supaya dagangannya laris manis. Menjual batu akik atau tahu solet adalah wasilah atau sarana untuk melangsungkan bebrayan sosial.
Tentu saja beliau berdua memiliki kesadaran untung dan rugi, namun itu bukan perhitungan utama. Memang tidak nampak upaya mereka, misalnya meningkatkan omset dagangan, memasang iklan, membranding penampilannya. Namun, jangan dibilang mereka tidak bekerja. Dipotong jam tidur, Mbah Man dan Pakdhe terus bekerja, selalu bekerja, dan akan bekerja dengan subtansi pengertian bekerja yang nyaris tidak dipahami oleh otak literer orang modern.