Lihat ke Halaman Asli

Achmad Saifullah Syahid

TERVERIFIKASI

Penulis

Mencermati Eufemisme dan "Self-cyborgification"

Diperbarui: 16 Maret 2017   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.fastcompany.com

Akan tetapi, sayangnya, sistem pendidikan kita belum siap berhadapan dengan Zaman Mesin Kedua yang akan datang ini. Seperti petani yang berkutat di pola pikir pra-industri, sekolah dan universitas kita terstruktur untuk membentuk siswa yang menjadi budak patuh rasionalitas, dan mengembangkan keterampilan yang usang dalam berinteraksi dengan mesin yang usang pula.

(Viktor Mayer-Schonberger)

Bukan karena rasionalitas tidak penting, atau rasionalitas kini telah menjadi “barang langka” yang kehilangan jejak kontinuasi. Perilaku manusia zaman ini, di tengah laju informasi dan teknologi yang makin tak terkejar oleh rasionalitas manusia, justru merefleksikan kebutuhan untuk kembali kepada khittah rasionalitas yang sebenarnya. Namun, sedemikian pentingkah rasionalitas itu?

Jawabannya bisa ya bisa tidak, bergantung pada bagaimana makhluk rasionalitas itu dilahirkan dan difungsikan. Ketika hoax dan intoleransi merajalela, rasionalitas sembunyi di sudut kamar yang pengap dan gelap. Kenyataan yang cukup paradoks saat manusia mengumumkan dirinya: aku berpikir maka aku ada.

Eufemisme Vs Rasionalitas

Kekonyolan itu tidak berdiri sendiri. Eufemisme membungkus irasionalitas secara rapi dan indah. Rasionalitas yang memihak pada ke-gamblang-an, memihak kejelasan, memihak langkah berpikir yang terstruktur, dikaburkan oleh eufemisme. Musuh abadi rasionalitas yang membutuhkan kejelasan adalah eufemisme.

Nyawa eufemisme adalah konotasi yang dimain-mainkan oleh siapa saja—politikus, agamawan, budayawan, ekonom, pejabat, pengurus partai, padagang atau siapapun yang cara berpikirnya cacat. Orang melihat nasi tapi tidak ingat beras, padi, sawah, petani, pupuk, tanah, air dan seterusnya. Nasi hanya dilihat sebaga nasi tanpa kesadaran kontinuasi pada kenyataan sebelum nasi menjadi nasi. Lahirlah “fakta alternatif”—nasi dicabut dari konteks dan faktanya yang suci dan diperlakukan tidak sebagai nasi. Imaji konotatif itu mempermainkan nasi (denonatif) sebagai nasi (konotatif). Di sinilah eufemisme menemukan pintu masuk.

Eufemisme membombardir kita dengan kata dan bahasa yang samar. Kita bisa mengumpulkan cukup banyak kata, frase, ungkapan yang menjengkelkan, seperti tarif listrik naik sebagai tarif yang disesuaikan, memecat orang sebagai pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan atau frase yang kaku: pengurangan jumlah staf yang berlebih.

Sufiks “de-“ dalam bahasa Inggris yang berarti menegasi telah terbukti berhasil di area ini, dari 'tidak dipekerjakan' (dehired) dan 'tidak dipilih' (deselected) saat sebuah perusahaan sedang dalam proses 'pengurangan staff' (destaff) atau 'pengurangan produksi' (degrowth), ungkap Mark Peter dalam The Hidden Danger of Euphemisms.

Berbeda dengan bahasa Jawa yang memiliki beberapa pilihan kata untuk satu aktivitas. Memukul misalnya, dalam bahasa Jawa bisa dinyatakan dengan ngantem, njotos, ngeplak, nempeleng, nggibeng. Ini bukan eufemisme—kekayaan kosa kata itu justru menunjukkan tingkat peradaban rasa dan bahasa nenek moyang kita cukup tinggi. Kekayaan kosa kita itu menuding secara akurat makna, rasa, nuansa dan fakta secara sangat gamblang. Sebuah capaian berbahasa yang dibutuhkan oleh rasionalitas.

Orang Jawa mungkin dikenal suka berbasa-basi, namun tidak dengan setiap pilihan kata atau diksi yang digunakan. Bahasa ngoko, krama, dan krama inggil menampilkan adab sosial yang selama ini malah ditalbis atau disamarkan seolah-olah bahasa Jawa menganut strukturalisme kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline